Selasa, 02 Oktober 2007

AWRAD SANG SULTHAN

اوراد السلطان الاولياء سيد الشيخ عبد القادر الجيلانى

بسم الله الرحمن الرحيم0 رب انى مغلوب فانتصر واجبر قلبى المنكسر واجمع شملى المندثر انك انت الرحمن المقتدر اكفنى ياكافى وهو العبد المفتقر وكفى بالله وليا وكفى بالله نصيرا ان الشرك لظلم عظيم وما الله يريد ظلما للعباد فقطع دابر القوم الذين ظلموا والحمد لله رب العالمين
بعد الصبح : ياعزيز ياالله 100
بعد الظهر : ياكريم ياالله 100
بعد العصر : ياجبار ياالله 100
بعد المغرب : ياستار ياالله 100
بعد العشاء : ياغفار ياالله 100

دعاء الجلاله
بسم الله الرحمن الرحيم0 اللهم انى اسألك بسر الذات وبذات السر هو انت وانت هو احتجبت بنور الله وبنور عرش الله وبكل اسم الله من عدوى وعدو الله بمائة الف لاحول ولاقوة الا بالله ختمت على نفسى وعلى اهلى وعلى كل شيئ اعطنيه ربى بختم الله المانع الذى ختم به اقطار السموات والارض وحسبنا الله ونعم الوكيل نعم المولى ونعم النصير ولاحول ولاقوة الا بالله العلى العظيم وصلى الله على سيدنا محمد وعلى اله وصحبه وسلم اجمعين0

RAHSAKU

RAHSAKU
Oleh Havidz al Abrozzy

Sinar surya sumilir sempurna
Yakinkan nelayan kembangkan layar
Arungi maha samudra temukan permata
Itulah tujuan dalam ikatan ikrar
Karamkan kirammu ke kedalaman QUL
Hanyutkan akumu dalam lautan KUN

Itulah ‘aqd yang mesti dipenuhi
Rahsa sejati menjadi jaminan
Fana segala – lumat dalam Sang Maha Diri
Abadi selamanya indah percintaan
Nun-mu-‘lah’ citaku, Nur-mu-‘lah’ dambaku, duhai RAHSAKU

KELUH KESAH SI BEO

KELUH KESAH SI BEO
Oleh Havidz al Abrozzy

Telah begitu lama kuputuskan kasih sayangmu
Kurengkuh keakuan dalam keasikan keterlenaan
Kucari kasih sayang - kasih sayang yang lain
Kudapati kekecewaan
Dan hanya kekecewaan

Dan kini ………
Ketika Dia memaksaku kembali kepadamu
Kudapati betapa bodohnya aku
Sungguh lalimnya aku ………

Dan betapa semakin bertambah bodoh lalimku
kau kurepoti dengan remeh temeh
atas nama ‘keterusterangan’ … … …

maafkan aku … … …
kakaktua … … …
beo yang butuh ini selalu mengeluh,

NASEHAT_NYA UNTUK NAFSUKU

NASEHAT_NYA UNTUK NAFSUKU

1.Saudaraku, pada kehendak Allah, menyerahlah………
2.Saudaraku, pandanglah Ia dengan cinta, palingkan mukamu dari yang lain, sebab Ia membelaimu untuk kepentingan dan kebaikanmu, sedang yang lain membuaimu untuk kepentingan dan kebaikannya sendiri.
3.Saudaraku, melalui Ia terbuka pintu cahaya, maka pantaskah apabila kau palingkan wajahmu dari-Nya dan kau cari pintu pintu kegelapan.
4.Saudaraku, pelana sudah dinaikkan, kuda sudah meringkik dengan keras, maka jangan kau tertidur lagi, paculah kudamu, rengkuh akhir tujuanmu, capai dan gapai cita cita agungmu.
5.Saudaraku, apabila kau mendaki gunung yang tinggi, bawalah bekal sekedar kecukupanmu, sebab bekal yang berlebihan akan menjadi beban dalam perjalananmu.
6.Saudaraku, tujuanmu luhur dan tinggi, jangan kau berperilaku hina dan rendah, sebab penempuh sejati adalah yang menyelaraskan tujuan dan perjalanan.
7.Saudaraku, di pundakmu ada tanggungjawab dan kehormatan, jangan kau sia siakan keduanya dengan keteledoran dan kealpaan.
8.Saudaraku, jaga Ia dimana kau ada, maka Ia akan jaga kau selamanya.
9.Saudaraku, nafasmu adalah nafas_Nya, bicaramu adalah bicara_Nya, laku lampahmu adalah laku lampah-Nya, maka pantaskan dirimu untuk menyandang gelar wakil_Nya.
10.Saudaraku, kau dianugerahi pertemuan dengan Sang Rijal, kau dihadiahi ikatan percintaan dengan Sang Ibad, lalu tegakah kau rendahkan anugerah dan hadiah itu dengan akhlakmu yang hina.







"untuk Guru Kami yang Mulya dan Agung, al Arif biLlah asy Syaikh al Habib Irfan bin Hasyim bin Thahir Baalwiy RA, ampuni segala keteledoran dan kealpaan kami, bimbing kami menuju taat dan cinta kepada Mawla Tertinggi Allah Azza wa Jalla melalui qurbah dan ma'rifah kepada Junjungan Semesta Raya Mawla al Musthafa Muhammad SAAW al Murtadha "

Selasa, 25 September 2007

SHALAT KHUSYU


SHALAT KHUSYU
Oleh Havidz al Abrozzy
Di suatu jamaah tarawih yang sangat berbarakah di rumah Guru Kami yang Mulya Syaikh Irfan Ba'alawiy, pada rakaat rakaat terakhir tarawih, ketika imam sedang membaca surat al-fatihah, telinga saya mendengar bunyi gelas dan mangkok menuju belakang shaf jamaah, saya langsung mafhum bahwa itu adalah 'sekedar' makanan yang disediakan oleh khadam guru kami untuk para jamaah tarawih. Dalam lintasan pemahaman terhadap bunyi gelas dan mangkok itu, tiba tiba sang khadam menghampiri saya dan membisikkan sesuatu ke telinga saya, -waktu itu posisi saya masih dalam keadaan shalat-, "mas, tolong nanti kalau sudah selesai tarawihnya, tuangkan es ini ke gelas, saya mau pergi dulu".
Saya tersentak dan tersadar, masya Allah, begitu lintasan tentang gelas dan mangkok muncul dalam hati, rupanya Beliau langsung menjawab lintasan itu dengan jewerannya yang khas. Selepas kejadian itu, hati saya langsung berantakan dan shalat yang memang sudah dari awal tidak 'fokus' menjadi semakin tidak 'fokus'.
Hari hari pertama ramadhan, guru kami memang menekankan betapa pentingnya menjadikan shalat sebagai mi'raj melalui prosesi awal yang bernama khusyu. Dan saya pribadi merasakan bahwa rupanya sekejap khusyu yang bisa dicapai dalam rangkaian shalat adalah keluarbiasaan dan anugerah yang harus disyukuri.
Dalam berbagai latihan shalat untuk mencapai khusyu, terbukti bahwa hati kita, -atau apapun yang ada di dalam kita- lebih banyak terisi dengan hal hal duniawi. Hal hal keseharian yang semestinya ketika takbiratul ihram dikumandangkan sudah harus disingkirkan jauh jauh bahkan harus sudah terlupa, langsung berhamburan menuju harddrive memory otak kita dan berjejalan berebut keluar untuk show of force. Sangat menakjubkan pola tantangan yang dibikin oleh-Nya. Ibarat sebuah virus yang tertanam dalam suatu harddisk, ketika computer mulai loading, virus secara otomatis langsung on dan menjala file file penting untuk di-crash.
Menjadi mengherankan bagi saya pribadi dan oleh saya pribadi, bahwa saya lebih menyukai memelihara virus virus itu dan sangat enggan untuk mengkarantinakannya, -apalagi membuangnya jauh jauh- dan sungguh lebih mengherankan lagi, bahwa saya menyadari adanya perangkat antivirus semacam Norton yang sudah terinstal dengan rapi dalam computer besar pribadi saya. Dalam kesadaran seperti ketika saya sedang menulis esai ini, timbul pertanyaan dalam hati, makhluk sehebat apa yang begitu kuat mencengkeram pola hidup kita ?.
Mendefinisikan shalat khusyu bagi orang seperti saya yang belum pernah bisa mencapai tahapan khusyu, tentu sangatlah sulit dan sangatlah tidak masuk akal untuk dapat dijadikan pelajaran. Yang ingin saya ceritakan berikut ini adalah juga pengalaman tidak 'fokus' ketika shalat.
Pada suatu shubuh yang indah, setelah menenggelamkan diri dalam keterlenaan tidur panjang yang nikmat, saya bergegas menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Karena memang saya tinggal di sebuah rumah kontrak yang airnya digunakan ramai ramai oleh seluruh penghuni, maka saya mesti menyalakan pompa air terlebih dahulu. Selepas wudhu, saya langsung mematikan pompa air dan bergegas menunaikan shalat shubuh.
Ketika takbiratul ihram dilakukan, dari dalam diri saya tiba tiba muncul lintasan pertanyaan, 'mas, kran airnya sudah ditutup belum, ya?'. Masya Allah, sungguh luar biasa system virus yang berjalan di dalam diri. Seketika saya batalkan shalat dan saya cek kran air. Ini adalah sepenggal contoh ketidakfokusan dalam keseharian shalat saya.
Dalam nasehatnya yang begitu indah, guru kami menganjurkan untuk meminimalisir hal hal eksternal yang bisa mengganggu prosesi 'ketidakfokusan' shalat. Semisal, makanan harus tersimpan rapi di dalam lemari, agar nanti kalau pada saat shalat ada kucing yang masuk, pikiran tidak tertuju kepada makanan. Atau tentang kran air yang harus dipastikan tertutup seperti kisah saya tadi, atau pintu dapur yang harus ditutup, atau kompor yang harus dipastikan dalam keadaan tidak menyala, dan lain sebagainya.
Kemudian kita dianjurkan untuk menciptakan suasana eksternal yang mendukung 'kefokusan' shalat, semisal menggunakan lampu yang temaram (tidak terlalu terang dan tidak sama sekali gelap), menggunakan sajadah yang berwarna putih saja, menggunakan baju putih, menggunakan wangi wangian, shalat di ruangan yang tidak terlalu besar untuk menjaga pandangan, dan lain sebagainya.
Setelah kedua hal tersebut dilakukan, barulah kita dianjurkan memulai latihan pembenahan terhadap hal hal yang sifatnya batiniah, -kedalam diri. Untuk itu, guru kami selalu menganjurkan agar beristirahat sejenak, -membuat jeda, antara wudhu dan shalat sekedar 2 – 5 menit. Ini dilakukan untuk mengistirahatkan fikiran dari berbagai persoalan keseharian yang memang harus kita jalani. Jeda ini juga berfungsi menghantar fikiran menuju suatu titik dimana tidak ada yang terfikir melainkan hanya bahwa sebentar lagi kita akan shalat, atau dalam bahasa tasawufnya SADAR SHALAT. Dengan modal sadar shalat ini, diharapkan tercipta suatu energi yang lebih memudahkan kita melaksanakan shalat yang focus. Barulah setelah itu, kita berlatih memfokuskan diri selama prosesi shalat.
Untuk mencapai titik focus dalam prosesi shalat ini, ada beberapa hal yang mesti disiapkan, antara lain :
1.Paham makna, yaitu mengetahui makna dari setiap bacaan yang kita lafalkan dalam shalat.
2.Paham maksud, yaitu mengetahui dan merasakan tujuan dari setiap rukun yang kita lakukan dalam shalat, tentang sesuatu dibalik apa yang tersurat.
3.Paham posisi, yaitu merasakan dengan sungguh sungguh melalui hati yang paling jernih dan cemerlang setiap rukun shalat dan makna batiniahnya dalam setiap laku lampah kehidupan. Posisi berdiri melambangkan apa, posisi ruku melambangkan apa, posisi sujud melambangkan apa, dan seterusnya.
4.Paham cara sempurna, yaitu bahwa shalat adalah proses menuju kesempurnaan hidup, atau dalam bahasa lain, shalat adalah cara untuk kembali HIDUP.
Pengajaran, pendidikan dan bimbingan menuju shalat yang sempurna seperti sebagian tersebut diatas ini tidak dapat dipraktekkan hanya dari membaca buku atau keterangan dari ustadz, melainkan harus melalui bimbingan yang terus menerus dari seorang GURU SEJATI, yang kasihnya melebihi kasih orangtua kandung.
Karena begitu rumitnya perjuangan menuju khusyu ini, dan karena saya sendiri merasa belum pernah mencapai tahap khusyu, maka terlalu kurang ajar kalau saya berani menjelaskan tentang bagaimana rasanya khusyu. Yang patut ditanyakan kedalam diri kita masing masing adalah apakah kita sudah berniat dan bersungguh sungguh mencari ilmu atau cara agar kita mencapai khusyu dalam shalat, sehingga setiap shalat kita adalah mi'raj, prosesi dialog antara Pencipta dengan yang diciptakan ?.

DAFTAR LINK

Berikut ini adalah site yang sangat bagus untuk anda kunjungi :

Pusat Studi Tasawuf Indonesia, merupakan wahana silaturrahim muridin Syaikh Abdul Jalil Mustaqim yang sekarang khirqahnya dipegang oleh Syaikh Shalahuddin al Ayyubi, PonPes PETA Tulungagung, beliau mursyid dari lima thariqah. www.sufinews.com

Muridin Qadiriyyah Rifaiyyah Indonesia, asuhan Syaikh Rais Ridjaliy bin Thaher Baalwiy AQ, www.nurussyifa.com

Muridin Akmaliyyah, asuhan Syaikh CM Hisbul Wathoniy, www.akmaliah.com

Muridin Naqshbandiyyah Haqqaniyyah, asuhan Mawlana Sulthanul Awliya Syaikh Nazim Adil Haqqani
www.sheiknazim.com
www.sheiknazim2.com
www.naqshbandiy.org
www.naqshlive.com

Kamis, 20 September 2007

PELAJARAN KEHIDUPAN

PELAJARAN KEHIDUPAN
Oleh Hafizullah Ahyak
Sesekali coba tengoklah sekeliling kita. Anda yang saat ini dianugerahi Tuhan kekuasaan dan kelebihan materi, tengoklah kepada saudara anda yang diuji Tuhan dengan kelemahan dan serba kekurangan. Anda yang saat ini dianugerahi Tuhan fasilitas hidup dan serba kemewahan, tengoklah saudara anda yang dirundung duka nestapa dan kemelaratan. Anda yang dipercayai Tuhan untuk mengelola sehat pribadi dengan vitalitas prima, tengoklah saudara anda yang tergolek lemah di rumah sakit atau tempat tempat nonformal lainnya karena beberapa alasan ekonomi yang tidak bisa ditolak dan dihindari.
Fungsi saling menengok ini perlu kita lakukan agar hati kita tidak menjadi keras sekeras batu dan bahkan lebih keras lagi. Kita perlu membuka sedikit egoisme dan kejumudan pola pikir kita dengan melihat realita disekeliling kita, sesuatu yang pasti terjadi sebagai konsekuensi prinsip prinsip keseimbangan alam. Realitas akan mengajarkan banyak hal dengan kebisuannya, ia berbicara lebih keras dari pembicara kondang manapun, ia memotivasi lebih dalam dan tegas dari motivator ulung manapun, asalkan hati kita tidak terlanjur membatu, bisu, buta dan tuli dari nilai nilai kebijakan dan hikmah. Kalau anda masih juga bersikeras dengan keyakinan anda bahwa memang sebagian manusia perlu direndahkan agar ada sebagian yang lainnya –seperti Anda menduduki posisi lebih tinggi dan meng’atasi’, maka saya pikir Anda perlu membedah dada anda dan bertanya kepada hati yang terdalam, siapakah sebenarnya anda, setan atau iblis ?.
Perjalanan hidup semua manusia sungguh akan terus tunduk dan patuh pada hukum alam, ya, nilai nilai tertentu yang mengatur kita secara alami dan apa adanya. Salah satu wujud konkritnya adalah bahwa kita tidak akan terus menerus hidup dalam kesehatan dan vitalitas pribadi yang prima dan maksima. Sesekali sakit akan mengunjungi kesombongan kita dan berkata, ‘Hai, jiwa yang sombong, coba tundukkan aku jika kau memang benar benar makhluk terhebat, katakan tidak untuk kehadiranku, tutup pintu rumahmu jika kau benar benar berkuasa’.
Makhluk yang bernama sakit akan meledek kita dengan kebisuannya yang menguasai dan memaksa, menghinakan sikap angkuh kita yang selalu bangga dengan produktifitas yang telah dicapai, prestasi prestasi istimewa yang tidak semua manusia mampu merengkuhnya dan sederet penghargaan atas torehan torehan sejarah kehidupan yang menyilaukan. Sakit tidak pernah secara lisan menuntun kita untuk sedikit lebih tawadhu, ia dengan ketawadhuannya cukup menyalami dan merangkul jasad yang kerdil dengan kasih sayangnya. Saat itu, andai kita bukan setan atau iblis, pasti ada cakrawala baru yang kita saksikan –bukan sekedar dilihat tetapi juga dialami dan dirasakan. Sebuah cakrawala yang mencerahkan, menyinari melintas batas matahari menyinari kita di sepanjang kehidupan. Apalagi bila makhluk yang bernama sakit ini termasuk salah satu spesies langka yang menyandang gelar ‘waliyullah’ semacam kanker, tumor, Anthrax dan Aids.
Itulah jawaban dari pertanyaan besar mengapa setan dan iblis tunduk dalam kesombongannya, bangga dengan kehebatan dan keunggulannya ?. Ya, sebab setan dan iblis tidak pernah diajak bercengkrama dan berkasih mesra dengan makhluk yang bernama sakit. Setan dan iblis dianugerahi (diuji dengan sesuatu yang melenakan) oleh Tuhan dengan vitalitas kesempurnaan, ia luput dari sakit dan mati, hidup abadi dengan satu visi, misi dan aksi, menggelincirkan manusia dari jalan Tuhan dengan berbagai cara dan upaya. Na’udzu billah. Kekuatan sempurna setan dan iblis ini yang membuatnya bangga menolak perintah Tuhan dengan berkata, ‘bukankah aku lebih mulya darinya (Adam), aku diciptakan dari api sementara ia diciptakan dari tanah’. Lalu, makhluk apalagikah kita seandainya setelah kita didatangi, dijenguk, dicengkramai, diajak bercumbu dan bergelut bergulat dengan makhluk yang bernama sakit dan kita masih tetap larut dalam kecongkakan dan kesombongan selain bukan setan dan iblis namanya, bahkan yang lebih hina dari itu ?.
Bukti lain yang sangat kasat mata adalah bahwa kita tidak akan terus menerus dilimpahi kekuasaan dan wewenang selama hidup kita. Tengoklah sejarah hidup ‘orang orang besar’. Tidak perlu menengok ke tetangga tetangga kita di Malaysia, atau jauh ke benua Eropa sana, cukup tengok mantan mantan penguasa negeri ini. Soekarno lapuk oleh doktrinnya sendiri yang menuntun rakyat untuk menobatkannya sebagai Presiden Seumur Hidup, Panglima Tertinggi, Pemimpin Besar Revolusi. Soeharto hancur oleh imaginasi yang dibangunnya berpuluh puluh tahun, sebuah imperium baru dengan ia sebagai Raja Besar yang menguasai segalanya. Lalu, berapa banyak mantan mantan bos besar yang menguasai aset triliunan rupiah dan sekarang mendekam di Nusakambangan, mari kita lihat pentas sejarah Bob Hasan, atau Marimutu Manimaren yang lebih memilih bunuh diri dengan cara yang betul betul tragis.
Semuanya mengajarkan betapa tidak berdayanya kita menghadapi sunnatullah, hukum alam yang apa adanya. Pelajaran pelajaran faktual semacam ini seharusnya membuat hati kita lebih terbuka terhadap hukum Tuhan yang adil, transparan dan tidak memihak. Hukum Tuhan yang secara tekstual menyuruh untuk saling berbagi, berkasih mesra dengan kesederhanaan dan kebersahajaan, saling menolong, menghargai manusia sebagai makhluk suci yang dijamin kesempurnaan sistem dan model ciptaannya. Bukankah Nabi mengajarkan satu prinsip kemuliaan manusia dengan sabdanya yang sangat elegan, ‘Menolong satu manusia sama nilainya dengan menolong seluruh umat manusia, membunuh satu manusia sama nilainya dengan membunuh semua manusia’. Sungguh, pelajaran pelajaran tekstual semacam ini rupanya tidak cukup membuka mata batin kita akan ketidakberdayaan diri menghadapi keMahaBerdayaan Tuhan, maka Tuhan selalu –dengan kasih sayangNya yang tidak terhingga dan tanpa pamrih- mengajari dan menuntun manusia dengan buaian buaian fenomenal faktual aktual keseharian yang begitu kasat mata dan jelas tegas. Pertanyaannya kemudian adalah apakah kita mau belajar –membaca, iqra ?.
Anda yang saat ini dianugerahi Tuhan dengan kekuasaan dan kelebihan materi, sekali kali anda perlu berbelanja ke WTC Mall Serpong, saat itu anda akan melewati jalan dimana industri –dengan segala pernak perniknya tumbuh subur. Lewatlah jalan itu antara pukul 15.00 sampai 18.00 sore. Anda akan melihat betapa banyak buruh yang dengan tetes keringatnya mempertahankan diri dari himpitan himpitan globalisasi yang menggilas. Anda akan melihat, betapa banyak buruh perempuan yang hamil, berkeringat, lusuh dan kusut masai dengan ketegaran dan semangat perjuangan, menyelesaikan setiap pekerjaannya dengan wajah ceria dan optimis. Bayangkan, seandainya buruh itu –hamil tua dengan segala resikonya, adalah anak atau istri anda.
Renungkan dalam dalam dan cerna pelajaran Tuhan dari realita semacam ini. Anda yang bukan setan dan iblis pasti berkata, ‘Oh, sungguh betapa sempurna Engkau Tuhanku, sebab Kau ciptakan manusia dalam kesempurnaan untuk saling mengisi dan melengkapi, seandainya tidak Kau ciptakan buruh buruh itu dengan semangatnya yang menggelora dan terus membara untuk menapaki jalan jalan terjal kehidupan, tentu Kau tidak akan melimpahiku dengan kekuasaan dan fasilitas ekstra yang tidak semua manusia bisa mencicipi dan merasakannya’. Sekali lagi, keyakinan semacam ini akan timbul apabila anda bukan setan atau iblis. Tidak lebih dan tidak kurang.
Gambaran lebih nyata lagi dari ketegasan hukum alam adalah bahwa suatu saat kita pasti akan mati. Ya, melepas semua hal yang berkaitan dengan sifat kepemilikan, segala hal yang mengikat anda dengan buaian yang melenakan semacam gelar, penghargaan, label, person image dan tetek bengek lainnya akan ditinggal dan meninggalkan manusia dalam kesendirian.
Syaikh Akbar Hisyam Kabbani menegaskan, ‘mati adalah jalan utama menuju kasih sayang Tuhan yang membuka kebijaksanaan dan hijab rahasia rahasia. Tidak akan terbuka mata batin seseorang sebelum ia secara fisik jasadi mengalami mati’. Nabi kita yang agung mengingatkan’ ‘Matilah engkau sebelum engkau mati’. Dua pelajaran tekstual ini memaksa kita mengakui kekuatan mati dan kewenangannya yang tak terhingga atas jasad kita yang ringkih.
Pernahkah anda mendengar adanya negoisasi antara manusia dengan Malaikat Pencabut Nyawa untuk mengundurkan sedikit waktunya dan sang Malaikat memberikan sedikit kelonggaran ?. Sungguh, mati tidak mengenal istilah dispensasi meskipun hanya sedetik. Ia datang karena memang sudah seharusnya dan demikian adanya, tidak mengenal kompromi dan basa basi. Tuhan menggedor kita dengan peringatan-Nya yang ganas, ‘Apabila kematian telah datang, takkan dapat diundurkan atau dimajukan waktunya’.
Mati memberikan taushiyyah utamanya bahwa pemilik segala sesuatu sejatinya adalah Dzat Yang Menciptakan sesuatu itu, yang membuat dari tidak ada menjadi ada lalu menumbuhkembang-kannya. Manusia sebagai wasilah kreatifitas Tuhan hanya dititipi sebagian wewenangnya untuk memodifikasi dan menyelesaikan tugas tugas rutin yang enteng dan ringan.
Andai manusia betul betul memiliki sesuatu, suruhlah ia menciptakan bakteri bakteri yang menguraikan kotorannya yang dibuang melalui WC-nya yang mewah. Atau, suruhlah ia untuk menciptakan sistem dan mekanisme pencernaan dalam perutnya yang gendut, memisahkan saripati makanan untuk diubah menjadi tenaga dan membuang ampasnya melalui saluran yang tepat. Atau, suruhlah ia untuk menempelkan sel spermanya ke sel ovum dan menjaganya agar tetap tumbuh menjadi seorang anak. Pergerakan sperma ke ovum, kotoran yang diurai bakteri dan mekanisme pencernaan adalah bukti ciptaan Tuhan dan sifat kepemilikannya atas diri manusia. Tuhanlah yang mengatur kapan salah satu sel sperma harus menempel ke sel ovum, kemana kotoran yang telah terurai harus ditempatkan dan bagaimana sistem pemisahan saripati makanan dari ampasnya harus dilakukan.
Ternyata, hal hal internal yang begitu dekat dengan diri manusia dan seolah olah tunduk dalam kekuasaannya saja menunjukkan kekuasaan, kewenangan dan sifat kepemilikan Tuhan, lalu bagaimana dengan hal hal lain yang eksternal di luar diri manusia ?
Puncak dari segala puncak ketidakberdayaan manusia ditunjukkan oleh the power of death. Yaitu, saat dimana sebenarnya manusia hanya membutuhkan kurang lebih 2 x 1 meter tanah dengan pakaian yang cukup menutup badannya saja. Segala sesuatu yang menghiasinya dengan kemegahan dan kemewahan di dunia akan pamit secara rapi dan teratur seiring dengan berlalunya para pelayat dari makamnya yang sunyi, bahkan juga anak dan istri.
Jadi dapat disimpulkan bahwa kesadaran kita untuk menengok saudara kita yang lain seharusnya mampu membuat kita lebih waspada, hati hati dan bijaksana dalam menjalani kehidupan. Manusia yang selalu peka lingkungan, tanggap waskita alam dan tajam cerah mata batinnya selalu berusaha menempatkan dirinya sebagai manusia yang beradab dengan segala sifat sifat kemanusiaannya yang luhur. Ia akan menjaga harmonisasi dengan menempatkan manusia lain sebagai partner, mitra, kawan dan saudara yang memiliki kedudukan yang setaraf sederajat, berat sama dipikul ringan sama dijinjing. Ia akan sadar bahwa dengan manusia lain ia tidak memiliki keunggulan dan kelebihan apapun selain karena tindak tanduk dan polah tingkahnya. Ia menghargai manusia sebagai makhluk yang diberi sedikit kewenangan dari Tuhan untuk berkreasi dan berkarya, karenanya ia akan menumbuhkembangkan sikap saling mengisi dan saling melengkapi dengan semangat persaudaraan yang paling asasi. Insya Allah.

TENTANG KEKUASAAN

TENTANG KEKUASAAN
Oleh Hafizullah Ahyak
Di pagi cerah yang menyegarkan, dengan obrolan yang sangat santai, Pak Ustadz mengajariku tentang kekuasaan sebagai berikut :
Nak, kekuasaan itu seperti ketika engkau buang air kecil. Orang lan di sekelilingmu begitu bau dengan air kencingmu, sementara engkau sendiri asik ma’suk mengeluarkannya. Ya, kekuasaan menyebabkan keterlenaan. Terlena karena memang kekuasaan dikelilingi beragam fasilitas dan asesoris. Fasilitas yang mengelilingi kekuasaan sering membutakan karena kecenderungannya yang bersifat pamrih. Cobalah engkau tengok, ketika si A belum menjadi lurah, berapa jumlah kawannya, dari jumlah kawannya itu, kau hitung berapa yang benar benar menjadi kawan sejati, yang terus menerus menasehati atas dasar kebenaran dan dalam bingkai kesabaran. Sekarang, ketika si A menjadi lurah, lihatlah, para kepala proyek yang memusuhinya dulu, mandor tebu yang angkuh, para kepala dusun yang arogan, semuanya mendekati dan berusaha merebut simpati sambil sesekali meniupkan bisikan bisikan maut, tentu saja dalam rangka memuluskan kepentingan dan keinginan masing masing.
Maka, sebaik baik manusia ketika ia memegang kekuasaan adalah yang ketika membuang air kencingnya ia menutup rapat kamar kecilnya, tidak lupa segera ia siram dengan air agar tidak menimbulkan bau dan polusi udara. Itu artinya anakku, saat engkau memegang kekuasaan, tutup rapatlah kekuasaanmu dari hal hal jelek yang bisa berupa manusia, keinginanmu sendiri, niat dalam hati, keluarga, istri dan anakmu, kolega dan konco kronimu. Tutuplah hal hal jelek itu dengan kejernihan air, ketajaman wawasan, kebersihan hati yang selalu mengajak kepada kebenaran, selalu dengarkan perkataan nuranimu yang terdalam ketika engkau akan memutuskan sesuatu, tanyakan apakah sesuatu itu membawa manfaat atau justru menimbulkan madharat, tanyakan secara jernih kepadanya apakah ada kepentingan kepentingan tersembunyi dibalik relung relung kedalaman proyekmu yang luar biasa. Dan ini segera engkau lakukan dan terus menerus engkau lakukan setiap saat, setiap waktu. Jangan biarkan air kencingmu lepas bebas tanpa kau siram dengan kebersihan dan kejernihan air. Jangan biarkan air kencing yang kotor itu menular kedalam dirimu dan lingkunganmu.
Anakku, kekuasaan itu cenderung kepada penyelewengan, power tends to corrupt. Untuk itu, dalam menggunakannya harus engkau hindari pembenaran pembenaran, harus kau gunakan kebijaksanaan kebijaksanaan tingkat tinggi agar keputusanmu tidak mendzalimi rakyatmu, harus kau ubah agar kekuasaanmu itu menjadi pelayananmu. Jadilah seperti Abu Bakar r.a. ketika dibaiat menjadi khalifah menggantikan Rasulullah SAW. Ia dengan tegarnya mengatakan, ‘aku bukanlah yang terbaik dari kalian, karena itu jika aku mengambil keputusan yang benar, dukunglah aku, tetapi jika aku mengambil keputusan yang salah, tegur dan ingatkanlah aku’.
Ketika engkau resmi menjadi pemimpin –yang memiliki sejumlah kewenangan dan kekuasaan tertentu, mulai buka mata hati dan pikiranmu untuk melihat, mendengar dan merasakan segala sesuatu tentang yang engkau pimpin. Dengarkan segala keluh kesah dan duka lara mereka, laksanakan nasihat mereka yang bijaksana, patuhi perintah mereka yang benar dan hindari memaksakan kehendak kepada mereka, sebab pertanggungjawabanmu kelak bukan hanya menyangkut dirimu tetapi juga menyangkut yang engkau pimpin itu.
Akhirnya, anakku, jadilah pemegang kekuasaan yang adil, ingatlah, pemimpin adalah pelayan bagi yang dipimpinnya. Allah selalu melihat dan mendengarmu, lebih dekat dari urat nadi, termasuk niat busuk yang engkau simpan rapi dalam bingkai kemulyaan kemulyaan. Bertawakkallah dan hati hati lah.

BELAJAR DARI POHON PISANG

BELAJAR DARI POHON PISANG
Oleh Hafizullah Ahyak
Pohon pisang menurut saya adalah pohon yang unik dan khas, setidak tidaknya karena beberapa hal sebagai berikut :
Pertama, ia hanya berbuah sekali seumur hidup. Pohon pisang akan mati setelah buahnya masak dan kita petik, maka sudah menjadi hukum panen pisang untuk sekaligus juga memanen pohonnya (gedhebok). Waktu saya kecil dulu, masa panen pisang berarti masa bermain di sungai karena gedheboknya difungsikan sebagai ‘gethek’ perahu kecil. Belakangan, di beberapa sudut industri rumahan di Pekalongan, gedhebok pisang dibudidayakan menjadi bahan baku kain yang tidak kalah mutu dan keunikannya dengan bahan baku sintetis lain bersanding dengan bahan baku alternatif seperti enceng gondok dan daun nanas.
Makna besar yang patut kita renungkan dari fenomena ini adalah bahwa pohon pisang tidak akan mati (belum akan mati, berusaha untuk tidak mati) sebelum memberikan karya terbaiknya kepada alam. Ia berkarya, menghasilkan sesuatu, berkreatifitas dengan daya pikir dan dzikirnya untuk memproduksi sebuah masterpiece yang tidak tertandingi. Sebuah mahakarya yang memberikan manfaat kepada alam. Inilah pelajaran pertama dari pohon pisang. Sebagai manusia yang dipersenjatai Tuhan berbagai kemampuan dan kedigdayaan, seharusnya kita bisa melakukan sesuatu lebih dari yang bisa dilakukan pohon pisang. Manusia memiliki otoritas atas dirinya sendiri untuk menentukan dan menetapkan pilihan. Ia diberi begitu banyak alternatif dalam kehidupannya untuk berkreasi, bukan hanya menyangkut alternatif tujuan tetapi juga menyangkut alternatif cara atau metodologi penempuhannya. Bukankah manusia makhluk yang terus berkembang dan bertumbuh ?. Ia mampu menyempurnakan penemuan penemuan terdahulunya menjadi lebih reliable, capable dan accountable.
Pohon pisang mengajarkan kepada kita untuk menghasilkan mahakarya sempurna –sesempurna mungkin, sebaik mungkin, seoptimal mungkin untuk akhirnya dapat dimanfaatkan sepenuhnya bagi kepentingan alam. Ia mengajarkan kepada kita untuk tidak egoistik individualistik –ananiyah, ia menuturkan prinsip kemaslahatan, sebuah fondasi dasar prinsip hidup bermasyarakat dan bersosialisasi. Kita diajak oleh pohon pisang untuk memberikan sesuatu yang bisa didayagunakan oleh lingkungan. Sesuatu yang mendatangkan manfaat.
Sesuatu yang mendatangkan manfaat itu tidak hanya terbatas pada hal hal yang sifatnya meteriil saja, melainkan juga menyangkut mental dan moral. Andai anda diberi kepercayaan oleh Tuhan untuk menjadi orang kaya (berlebih secara materi), anda diajari oleh pohon pisang untuk menyisihkan sebagian kekayaan anda dalam rangka membangun kemaslahatan lingkungan. Kalau jalan desa anda bolong bolong dan becek ketika hujan, maka ketika anda membeli aspal dan melicinkan jalan tersebut, insya Allah anda termasuk murid pohon pisang. Atau kalau di kota anda yang penuh sesak oleh panas kotornya debu industri tidak terdapat lembaga konsultan hukum ketenagakerjaan yang menegakkan prinsip prinsip keadilan atas dasar hukum yang disepakati bersama, lalu anda mendirikan lembaga itu terutama dalam kerangka membantu persoalan buruh pinggiran yang terdzalimi, maka anda juga insya Allah termasuk murid pohon pisang. Kalau anda seseorang yang memiliki harta yang hanya pas untuk diri dan keluarga anda, tetapi anda diberi karunia oleh Tuhan dengan kecerdasan dan wawasan, maka ketika anda menyebarkan kecerdasan itu kepada teman teman anda, insya Allah anda juga termasuk murid pohon pisang.
Kita dituntun oleh pohon pisang untuk menimbang segala aktifitas agar selalu dalam kerangka pemberian manfaat. Bukankah secara tekstual Tuhan menyatakan bahwa yang terbaik dari kita adalah yang paling banyak memberikan manfaat untuk lingkungannya. Sungguh, terhadap dua ayat tekstual dan kontekstual (qouliyah dan kauniyah) yang saling melengkapi ini, Tuhan ingin menunjukkan keseriusannya terhadap pentingnya prinsip kemaslahatan dan pemberian manfaat.
Kedua, pohon pisang meninggalkan bibit baru sebelum mati. Tengoklah pohon pisang yang sudah berbuah, disampingnya pasti ada tunas kecil yang tumbuh dan jumlahnya bisa lebih dari satu. Kembali pohon pisang memberi tahu betapa untuk menjaga kelangsungan hidupnya, ia menyiapkan kader kader.
Ini menunjukkan kepada kita arti penting kaderisasi, pelatihan dan pendidikan untuk menyiapkan dan menciptakan generasi unggul yang siap tempur, berani menempuh resiko dengan berpegang teguh pada prinsip prinsip sejati yang sifatnya transendental dalam menghadapi segala tantangan, gangguan dan hambatan dalam kehidupan. Sebab sudah menjadi sunnatullah, bahwa semakin modern peradaban manusia, maka akan semakin komplek pula permasalahan yang ditimbulkannya. Pohon pisang memberikan taushiyah kepada kita bahwa kejayaan pribadi dan kesalehan pribadi yang sifatnya individual lokal tidak akan memiliki dan menoreh nilai kesejarahan apapun sebab kemaslahatan hanya bisa dibentuk oleh kesalehan sosial universal yang mengikat masing masing pribadinya dengan kohesitifitas tinggi dalam kerangka fastabiqul khoirot.
Pohon pisang tidak rela apabila perjuangannya menghasilkan ‘sesuatu’ yang bernilai berhenti atau terhenti seiring dengan matinya jasad yang ringkih dan rapuh. Ia berkomitmen untuk terus menjaga perjuangannya dengan selalu menyiapkan bibit unggul berupa tunas tunas muda yang potensial. Ini juga mengajarkan kepada kita pentingnya pemuda dan remaja sebagai calon pengganti kita kelak. Adik adik kita, anak anak dan cucu cucu kita yang saat ini bergelut secara formal dengan sekolah adalah calon pemimpin yang apabila tidak kita sirami dengan nilai nilai yang baik dan benar akan menciptakan kerusakan kerusakan baru di masa depan. Maka, pohon pisang mengajarkan pentingnya pendidikan.
Pendidikan bukan hanya persoalan kesekolahan tetapi juga menyangkut pembentukan karakter, kepribadian dan akhlak menuju insan kamil. Karenanya, pendidikan juga harus dilakukan di institusi penting yang bernama keluarga. Sebagai institusi mikro yang bersinggungan langsung dengan masing masing individu, keluarga memiliki daya kontrol yang lebih kuat, daya didik yang lebih menusuk dan daya keteladanan yang lebih visual. Bagaimana sosok insan kamil ditampilkan, bagaimana uswatun khasanah divisualisasikan adalah fungsi fungsi dari institusi keluarga. Mengingat begitu sentralnya peran keluarga dalam proses penyiapan kader kader ini maka menjadi suatu keharusan bagi para stakeholdernya (orangtua –ibu dan bapak) untuk mengetahui dan mempraktekkan terlebih dahulu nilai nilai kebaikan dan kebijaksanaan yang akan dibekalkan kepada anak anaknya kelak, karena itu saya sering memberikan suatu ungkapan kepada kawan kawan saya yang akan menikah untuk belajar mendidik anak dari sebelum anak lahir dan bahkan dari sebelum janinnya terbentuk, artinya ia harus mendidik dirinya terlebih dahulu sebelum kelak mendoktrinkan nilai nilai tertentu kepada anaknya.
Ketiga, daun pohon pisang memberikan manfaat pelengkap. Di desa desa dan di kampung halaman kita, kita masih sering menjumpai daun pisang yang dijadikan bungkus nasi, misalnya. Ini mengajarkan kepada kita bahwa dalam keseharian dan aktifitas rutin kita, kita harus mampu memberikan pelayanan dan keteladanan mulai dari hal hal yag sifatnya kecil. Ada suatu ungkapan yang sangat tepat untuk menggambarkan betapa pentingnya hal hal kecil yaitu ‘untuk mencapai jarak jutaan kilometer harus dimulai langkah pertama’. Ya, sedikit demi sedikit menjadi bukit. Bagaimana mungkin kita akan melakukan satu hal besar apabila tidak kita mulai dari hal kecil ?.
Anda yang bergelut dengan dunia produksi massal pasti tahu persis bahwa untuk menghasilkan produk ratusan bahkan ribuan dalam waktu sehari harus dimulai dari menghasilkan satu produk setiap mesin dalam satuan waktu tertentu yang ditetapkan. Lalu, dari puluhan mesin yang dijalankan akan dapat dikalkulasi berapa ribu produk yang dapat dihasilkan per hari. Kesimpulannya, tidak mungkin hal besar dapat tercipta tanpa menciptakan hal kecil terlebih dahulu.
Bagaimana mungkin kita bercita cita menciptakan sesuatu yang fenomenal sementara sehari hari kita dilelapkan oleh kemalasan dan tertidur dalam buaian kemanjaan teknologi ?. Bagaimana mungkin kita akan menundukkan teknologi, menguasai dan menjadikannya alat bantu kita sementara sehari hari kita asik dibekapnya dalam kemudahan fasilitas dan kekanak kanakan akhlak ?.
Kalau anda ingin jadi murid pohon pisang, mulai sekarang tanamkan prinsip dalam diri anda untuk hanya melakukan hal hal yang menghasilkan manfaat baik kepada diri anda sendiri mapun kepada lingkungan anda. Ingat, petuah pak ustadz dulu bahwa salah satu ciri orang yang beriman adalah kecenderungannya untuk menjauhi hal hal yang melenakan dan tidak bermanfaat.
Keempat, bahkan setelah ‘wafat’, jasad (gedhebok) pohon pisang masih bisa didayagunakan untuk kepentingan peningkatan citarasa, budaya dan keluhuran martabat manusia. Bukti konkritnya adalah digunakannya pohon pisang sebagai bahan baku pakaian dengan nilai ekonomis yang tidak kalah bersaing dari bahan baku sintetis lainnya. Atau dalam kondisi paling ekstrem, ‘gedhebok’ pohon pisang selalu menjadi bahan baku utama untuk menancapkan wayang wayang dalam pertunjukan seni yang sarat dengan makna dan hikmah kebijaksanaan.
Sungguh, pohon pisang mengajarkan begitu banyak hal kepada kita tentang kehidupan. Ia, dengan kebisuannya, mengajak manusia untuk memerdekakan dirinya lebih merdeka lagi dengan memenjarakan cinta dan pengabdian hanya kepada Dzat Yang Maha Mencintai, Allah SWT.

BATIK

BATIK
Oleh Fitri Adi
Batik adalah karya seni indah yang telah dikenal dan digandrungi tidak hanya di negara dimana terdapat banyak pengrajin batik seperti Indonesia melainkan juga sebuah komoditi yang diminati oleh berbagai penduduk belahan dunia. Diambil dari kata “tik” yang berarti dot atau “sebuah titik” yang tadinya tidak ada bereksistensi menjadi ada. Sebuah eksistensi yang nantinya membentuk sebuah motif atau wacana atau fenomena yang berwujud, yang bisa dilihat, disebut dan dinikmati nilai keindahanya.
Sebuah proses amat sederhana dengan sistem yang begitu tradisional, dengan unsur wasilah yang disebut malam atau lilin atau wax, sebagai penutup bahan yang akan diwarnai. Dari metodologi inilah dikembangkan menjadi bermacam-macam motif dan bentuk yang melahirkan karya-karya yang sensasional dan para seniman-seniman yang handal .
Lalu siapakah Seniman batik yang terbaik?, karya seni yang terindah? Bisakah penduduk Pekalongan yang lahir dikota batik menjawabnya?
Subkhanallah …subkhanallah….subkhanallah…
Analogi macam apakah ini, perumpamaan dahsyat apakah ini, ayat hebat apakah ini. Tidakkah semisal makna yang terkandung di dalam raga ini sebagai warna dasar, atau tidakkah seumpama jasad manusia dengan lilin atau wax. Jika ada motif yang yang lurus dan lengkung dan beraneka warna, bukankah ada yang pesek, ada yang bangir, ada yang pendek, ada yang..........Bukankah lilin itu palsu tapi dari yang palsu itulah akan terbentuk motif dan keindahan.
Bukankah lilin itu suatu saat harus dihilangkan..agar tampak hakekat sang warna, lalu dengan apakah lilin itu bisa hilang ?, tentu saja dengan panas yang biasa disebut proses “nglorot”
Jadi mau tidak mau lilin ke “akuan wujud” itu harus di lorot di dunia ini atau diakhirat.Didunia dengan nulayani –menahan, mencekik dan menghambat tumbuhkembangkangnya nafsu, -man ‘arofa nafsah wakholafaha faqod ‘arofa robbah wataba’ahu.
Atau bukankan telah disediakan api neraka bagi yang tidak beruntung ‘nglorot’ di dunia sehingga harus dilorot dengan api neraka lilin ke akuan wujud itu, agar tampak hakekat keindahan warna dan motif, lalu kurang cinta apanya Tuhan.
Lalu apa salah Hu, bukankah Dia hanya berkarya cipta tentang cinta dan keindahan, karena tujuan cinta adalah keindahan. Subkhanallah yang maha indah, ini adalah pembicaraan tentang seniman dan karya seni, yang nilai seninya hanya bisa dinikmati, dipahami dan dimengerti oleh para seniman.
Dan lihatlah ketika lilin itu dibiarkan berhari-hari maka akan semakin susah lilin itu dibersihkan kecuali dengan proses nglorot panas yang berulang -ulang dalam air yang mendidih hingga bersih sama sekali.
Maka benarlah saat lilin keakuan wujud palsu itu begitu kuat melekat sehingga dianggap sebagai warna yang asli, maka dilorotlah dalam api neraka secara berulang pula hingga bersih, menjadi arwakhul muqoddasah, kembali dalam keabadian. Seperti syeikhul akbar berujar akhir dari semuanya adalah pengampunan. Ya wasi’al maghfiroh, alkhamdulillah.
Sebuah cerita lucu ketika seorang sufi hendak memasak dan tidak punya api, kemudian ia pergi ke neraka untuk mengambil api, maka tidak didapatinya api itu dineraka dan setelah pulang dia berkata ‘o..ternyata dineraka tidak ada api’. Tentu saja api itu hanya ada bagi yang belum ‘nglorot’ lilin batiknya.
Allahu a’lamu bimurodih faghfirlana bijahilina….

SLILIT

SLILIT
Oleh Hafizullah Ahyak
Hati hati bicara soal slilit, sebab meskipun kecil tetapi amat menyakitkan, terutama apabila gigi kita yang sudah bolong itu dihinggapi virus alias kuman dan kemudian beranak pinak di sana. Bicara mengenai slilit, saya jadi teringat sebuah artikel yang ditulis oleh Cak Nun, seorang budayawan gila yang terus menerus berusaha menggali makna kehidupan yang cenderung ruwet ini. Dalam artikel itu diceritakan bahwa betapa gara gara slilit yang sepele itu, seorang kyai yang sudah terbukti dan teruji kesalehan spiritual individual dan sosialnya tertahan di pintu masuk Jannah an Na’im. Perkaranya kelihatan begitu sepele, bahwa suatu malam sepulangnya dari kondangan di rumah warga yang memang di hidangkan berbagai macam makanan, pak kyai ketiban slilit yang menggelisahkan giginya, maka secara tak sadar pak kyai sambil pulang ke rumahnya memetik dahan tanaman pagar salah seorang warga seukuran batang korek api. Nah, tanaman pagar yang seukuran batang korek api ini lah yang mencegah pak kyai masuk ke surga. Sang tanaman mempermasalahkan pak kyai yang menghabisi hak hidupnya tanpa seijin yang empunya. Maka berdasarkan hukuman keadilan Tuhan, malaikat memutuskan untuk membersihkan slilit dosa pak kyai sebentar di neraka. Hikmah apa yang dapat kita ambil dari penggalan cerita ini ?.
Yang pertama, perkara yang kita anggap sepele sering merupakan sebuah perkara besar oleh pengadilan Tuhan. Seandainya gara gara sedikit ucapan kita tentang perusahaan yang menjelang bangkrut misalnya, padahal sebenarnya tidak, dan kemudian gara gara ucapan kita itu semangat ikhlas rekan rekan kita yang bekerja mencari nafkah untuk menghidupi dirinya dan keluarganya sebagai bagian dari sunnatullah berkurang dan bahkan menghilang, lalu yang muncul kemudian adalah sifat putus asa dan suudh dhonn (berburuk sangka), maka hitungan dosa diukur berdasarkan deret ukur (berkelipatan), yaitu sejumlah nilai kemudharatan yang kita timbulkan akibat ucapan kita itu (allahu a’lam). Idiom kita yang saya gunakan diatas bisa berarti siapa saja, lho. Kita itu bisa berarti karyawan (laki / perempuan), pengusaha (korea, setengah korea, pribumi maupun setengah pribumi) dan juga pengurus serikat pekerja.
Yang kedua, bahwa hak orang lain yang notabene menjadi kewenangannya harus diberikan dengan pas dan adil. Pas dalam artian sejumlah hak itu, adil dalam artian sesuai dengan nilai hak miliknya. Maka seandainya kita sebagai pekerja telah dipenuhi hak haknya oleh pengusaha dan kita tidak memberikan hak yang wajib diterima oleh pengusaha, itu lah slilit yang harus kita bersihkan agar kita bisa leading enjoyly ke jannah an na’im. Begitupun sebaliknya, seandainya kita sebagai pekerja telah bekerja dengan giat sekuat tenaga dan kemampuan, lalu ada hak hak kita yang dipecundangi oleh yang punya pabrik, maka itu juga slilit yang akan menghambatnya memperoleh kenikmatan sejati abadi. Atau seandainya kita menjadi atasan yang membawahi beberapa / banyak bawahan, lalu kita berbuat semena mena terhadap bawahan kita sesuai kehendak nafsu kita, maka berdoalah agar bawahan yang kita sewenang wenangi itu tidak sakit hatinya sehingga tidak ridho atas apa yang kita perbuat. Sebab andaikata sang bawahan tidak ridho, itu akan menjadi slilit yang bisa jadi mempersulit kita bertemu Sang Pencipta di alam kesejahteraan nanti. Sebaliknya sebagai bawahan, apabila kita selalu membuat sakit hati atasan kita dengan cara cara yang dzalim, itu juga slilit yang menyulitkan. Barangkali pertanyaan yang pantas diajukan dalam konteks ini adalah bagaimana caranya kita tahu bahwa kita berbuat sesuatu dengan adil atau tidak, memberikan hak orang lain sesuai nilainya atau tidak?. Dalam konteks antara pengusaha dengan pekerja, yang bisa dijadikan patokan adalah aturan normative yang melandasi hubungan industrial yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Dalam konteks atasan dan bawahan, hal pokok yang bisa dijadikan patokan adalah job desciption (pembagian kerja). Meskipun demikian dalam hal hal tertentu yang sifatnya darurat, pertimbangan efek manfaat dan nilai maslahat yang diambil oleh lebih banyak orang menjadi alasan utama dalam menetapkan suatu keadilan (allahu a’lam).
Yang ketiga, bahwa sebagai manusia yang dikaruniai Tuhan akal dan logika serta hati, kita harus selalu mampu mengambil hikmah atau pelajaran dari seluruh kejadian yang menimpa kita dan lingkungan kita. Hikmah itu yang nantinya dapat kita jadikan pedoman nilai, tolok ukur tata laku, penunjuk akhlak dan penjelas qiyas dari persoalan persoalan yang melilit hidup kita. Seandainya kita selalu mampu melakukan hal itu, niscaya hidup kita tidak akan sempit meski kita sering kehabisan uang belanja setiap tanggal 15, meski kita tinggal di kontrakan seukuran 3x4 meter.

PERNIKAHAN

PERNIKAHAN
Oleh Hafizullah Ahyak
Nikah adalah prosesi yang sangat istimewa setidak tidaknya karena beberapa hal seperti dibawah ini :
Pertama, prosesi nikah merupakan lambang kedewasaan berpikir dan juga (semoga) kedewasaan bertindak. Dewasa karena orang yang sepakat untuk menikah sebenarnya mengetahui secara persis bahwa pasangannya memiliki kelebihan kelebihan tertentu yang tidak ia miliki sekaligus kekurangan kekurangan tertentu yang suatu saat mungkin menimbulkan konflik. Dewasa juga karena orang yang sepakat untuk menikah menyiapkan diri untuk membatasi segala kesenangan dan kegemarannya dengan kesenangan dan kegemaran pasangannya, mengetahui bahwa mungkin ada beberapa kebiasaan yang kurang berkenan di hati pasangannya sehingga mau tidak mau ia harus memodifikasi, merubah atau mengganti kebiasaannya itu. Tanda kedewasaan lainnya orang yang sepakat untuk menikah adalah pada kesepakatan untuk menempatkan segala perbedaan dalam satu bingkai harmonisasi dan keselarasaan. Perbedaan ditempatkan dalam posisi sebagai energi pendorong bukan sebagai energi pemecah dan penghancur. Perbedaan menjadi sinergi yang menyeimbangkan, menumbuhkembangkan dan memupuk cintakasih tulus yang tak terukur.
Kedua, setiap orang yang sepakat untuk menikah biasanya meniatkan (secara kuat dan bulat) untuk menjadikan prosesi nikahnya sebagai yang pertama dan yang terakhir. Jarang jarang ditemukan secara terbuka, seorang pasangan yang berniat untuk kembali melakukan prosesi pernikahan kedua atau ketiga kalinya pada saat prosesi nikahnya yang pertama. Sebagai event yang diniatkan sekali seumur hidup, tentu segala persiapan dan tetek bengek disiagakan sesempurna mungkin. Kerabat kerabat jauh yang terputus silaturakhminya, rekan rekan kerja dan atasan, kawan kawan lama yang berpuluh puluh tahun tidak berjumpa, orangtua dan saudara, sesepuh dan guru, penasehat spiritual dan penasehat nonspiritual, semuanya diundang untuk menyaksikan suatu peristiwa penting yang tidak bakal terlupakan seumur hidup. Sistem dokumentasipun dirancang sedemikian canggih dan langsung, tidak hanya sekedar gambar gambar bisu yang lapuk oleh waktu, maka disediakan video shooting dengan kamera beresolusi tinggi dan jernih, media penyimpanannya pun dibuat berangkap rangkap, tidak cukup dengan VCD atau DVD tetapi perlu pula diback-up dengan hard disk, flash disk dan yang semacamnya. Semuanya dalam kerangka peristiwa ini hanya terjadi sekali seumur hidup (setidaknya itulah yang diniatkan pada saat itu).
Ketiga, prosesi nikah adalah proses perjanjian (‘aqad). Setiap pasangan yang menikah mengingatkan dirinya satu sama lain. Proses pengikatan ini menyebabkan sifat kepemilikan antar keduanya, yang satu memiliki yang lain. Sedang proses kepemilikan menyebabkan timbulnya hak dan kewajiban. Itulah sebabnya prosesi nikah disebut juga proses perjanjian, bukan sekedar kesepakatan. Perjanjian menuntut pelunasan dan pelaksanaan, maka orang yang menikah wajib menunaikan hak pasangannya dengan sempurna, bukankah janji adalah hutang ?. Pentingnya prosesi nikah ditinjau dari sifatnya sebagai perjanjian ini ditegaskan oleh semua agama, maka pernikahan biasanya disebut dengan pertalian suci. Dalam agama Kristen, sebelum pendeta mengikatkan kedua pasangan, masing masing pasangan ditanyakan kesediaannya untuk saling mengikatkan diri serta tidak lupa pendeta menanyakan apakah diantara yang hadir ada yang berkeberatan terhadap ikatan itu. Ini menunjukkan bahwa konsekuensi sebuah perjanjian tidak hanya menyangkut kedua pasangan yang mengikatkan diri tetapi juga terhadap keluarganya yang lain. Dalam islam, untuk melindungi perjanjian ini, seorang suami harus menandatangani taklik talak yang berisi batas batas yang tidak boleh ia langgar. Apabila ia melanggar batas batas itu, maka secara otomatis putuslah perjanjian itu, lepaslah ikatan keduanya sehingga satu dengan yang lainnya tidak memiliki kewajiban dan hak lagi. Ini juga menunjukkan betapa sebenarnya sangat berat konsekuensi dari prosesi ini yang bila diperlakukan secara serampangan dan sembarangan, bisa mengakibatkan kerugian (materil dan immateril) pada salah satu pihak.
Keempat, prosesi nikah adalah lambang kesempurnaan hidup. Setiap manusia pada dasarnya diciptakan oleh Tuhan untuk saling mencintai dan mengasihi satu sama lain. Perasaan cinta kasih ini akan tersalurkan secara benar dan baik melalui prosesi nikah. Prosesi nikah menempatkan laki laki sebagai manusia yang penuh tanggungjawab dan kesadaran dengan menjadikan perempuan sebagai kekuatan yang dipercayai mampu meneruskan garis keturunannya, dan bahkan menjadikan perempuan sebagai pertnernya dalam mengarungi setiap tumpukan persoalan hidup yang tidak pernah berkurang dan berhenti. Tugas dan fungsi pelangsung keturunan inilah yang terutama menjadikan pernikahan sebagai lambang kesempurnaan hidup. Dalam ungkapan jawa yang sangat elegan, kita sering mendengar orang yang yang sudah (baru) menikah sebagai ‘wong sing wis mentas’ –orang yang sudah paripurna. Ini mengisyaratkan bahwa pernikahan mendorong orang untuk terus menancapkan sejarah hidupnya sepanjang jaman. Sejarah hidupnya akan diteruskan oleh anak anaknya dan begitu seterusnya. Bukankah anak sering kita definisikan sebagai harta yang tak ternilai, ingat !, cerita tentang seorang kaya yang anaknya meninggal karena narkoba karena kesibukan kerja kedua orangtuanya sehingga ia tidak terlimpahi kasih sayang lalu timbullah penyesalan yang begitu mendalam dari orangtuanya ?.
Diatas semuanya, prosesi nikah sejatinya memanusiakan manusia sebagai sesejati sejatinya manusia. Dengan pernikahan, manusia mampu membedakan dirinya dari makhluk bumi lainnya. Perbedaan perbedaan itu antara lain :
Pertama, pernikahan adalah prosesi budaya. Cobalah anda datang ke Samarinda atau Padang, lalu setelah itu anda datang ke Yogya atau Solo. Anda akan menemukan bahwa setiap daerah memiliki tatacara dan adat istiadat tertentu untuk melaksanakan prosesi pernikahan. Kalau anda orang Jawa, anda pasti mengenal istilah pingit untuk calon mempelai wanita. Pingit adalah suatu kurun waktu tertentu yang mengharuskan mempelai wanita untuk tidak keluar rumah. Ini mempunyai makna yang sungguh sangat mendalam. Sebelum prosesi nikah, mempelai wanita diharuskan bertafakkur, merenung, mengevaluasi diri dan menyiapkan diri secara lahir dan batin agar dalam melayani suaminya kelak ia dapat melakukannya sebaik mungkin dengan penuh keikhlasan dan keridhoan. Lalu, anda juga menemukan tatacara tertentu di setiap daerah pada saat prosesi nikah. Ada melempar bunga, menginjak telur, memutari api suci dengan selendang yang tersambung kalau di India, dan segudang tatacara suci lainnya. Semuanya dengan jelas dan tegas menunjukkan bahwa pernikahan adalah prosesi budaya yang menunjukkan martabat dan ketinggian budi pekerti dan moral manusia. Mari kita bandingkan dengan kuda misalnya. Apakah anda pernah menemui kuda yang melakukan ritus ritus tertentu atas inisiatifnya sendiri sebelum ia mengawini betinanya. Kuda tidak perlu melakukan ritus ritus sebab ia tidak mengenal budaya. Kuda cukup memberikan isyarat isyarat tertentu berupa ringkikan atau yang lainnya untuk menarik sang betina lalu mereka kawin.
Kedua, prosesi nikah adalah pintu untuk membangun sebuah institusi adiluhur yang bernama keluarga. Salah satu perbedaan penting manusia dengan makhluk lainnya adalah institusi adiluhur ini. Keluarga merupakan wahana pendidikan dan pelatihan pertama sebelum manusia menempuh pendidikan dan pelatihan lainnya. Orangtua menjadi pendidik pertama bagi anak anaknya sebelum orang lain memberikan nilai nilai baru. Pentingnya peran pembentukan karakter, kepribadian dan akhlak ini tidak bisa digantikan oleh institusi lain selain keluarga. Institusi lain hanya bersifat komplementer (melengkapi), bukan utama. Hanya institusi keluarga yang mampu membentuk dan mendoktrinkan nilai nilai kebaikan dan kebajikan, kebijakan dan hikmah. Fungsinya yang bersifat inside-out mengharuskan konsentrasi penuh dari seluruh stakeholdernya. Keluarga bukan hanya tempat pelarian dari segudang masalah yang dijejalkan dunia kepada kita. Keluarga adalah tempat diskusi, penebar solusi dan penumbuh semangat perjuangan dan pengorbanan, sungguh fugsinya begitu utama. Sekarang bandingkan dengan ayam, pernahkah anda menjumpai suatu keluarga ayam dimana bapaknya mendidik anaknya nilai nilai perjuangan, bahkan nilai pun mereka tidak punya.
Ketiga, pernikahan meninggikan derajat manusia. Pernikahan memposisikan manusia bukan semata sebagai alat atau obyek tetapi lebih sebagai subyek, mendorongnya menciptakan hubungan yang setaraf sederajat, sepadu sepadan, berdiri sama tinggi duduk sama rendah. Bukti konkritnya adalah bahwa sebagian besar manusia masih bersepakat hinanya profesi penjaja seks (WTS). Mengapa demikian ?. Sebab, penjaja seks merendahkan manusia hanya sebagai alat pemuas nafsu, tools yang bersifat ekonomis yang dapat dinilai dengan satuan satuan tertentu yang sifatnya kalkulatif kuantitatif. Manusia direndahkan dan merendahkan derajatnya sendiri sebagai budak syahwat dan pelampiasan kebutuhan biologis semata yang sifatnya sangat ragawi. Lalu, mari bandingkan dengan binatang. Binatang dengan seenaknya saja melampiaskan syahwatnya bahkan kepada induknya sendiri, tanpa perlu pamit permisi apalagi menikah. Jadi, ketika manusia melakukan pengingkaran pernikahan sebagai satu satunya jalan untuk menempuh jalan persetubuhan, sungguh ia benar benar merendahkan dan menghinakan dirinya sendiri bahkan lebih rendah dan hina dari binatang.
Jadi, dapat kita simpulkan betapa mulianya prosesi pernikahan di mata kemanusiaan. Pernikahan menempatkan kita sebagai individu individu yang pantas merdeka, berkembang, berkarya, melakukan perubahan dan perbaikan serta berbudaya. Sekarang tinggal kita memaknai pernikahan kita, apakah hanya sekedar sebagai alat atau sarana pelampiasan kebutuhan biologis atau tersimpan niat kuat untuk menunjukkan nilai nilai kemanusiaan.
Semoga kita dihindarkan dari pernikahan dengan motif motif yang merendahkan seperti motif ekonomi atau motif motif matematis lainnya. Amin

Selasa, 18 September 2007

DUKUNGAN

DUKUNGAN
Oleh Hafidz al Abrozzy
Pada suatu sore yang sangat cerah, ustadz saya yang selalu menuturkan hikmah memulai pelajarannya. Nak, suatu saat andai engkau ditakdirkan oleh Allah menjadi orang yang mempunyai kepandaian, kecakapan bergaul, ahli bertutur kata dan berkomunikasi, mampu menggerakkan orang lain untuk meraih tujuan bersama, mampu membuat konsep dan melaksanakannya dan kemudian orang orang yang berada di sekelilingmu mendukungmu untuk menjadi pemimpin mereka, maka ingatlah dua hal ini.
Yang pertama, bahwa dukungan itu ada dua. Ada dukungan yang ikhlas, sumbernya dari hati yang bersih dan ada pula dukungan yang culas, sumbernya iri dengki. Dukungan yang ikhlas mendorongmu untuk benar benar memberi manfaat kepada orang yang engkau pimpin, sekuat tenaga dan kemampuanmu. Dukungan itu akan mewujud dengan dorongan semangat, penghibur duka lara ketika susah menimpa dan pemberi peringatan ketika lupa. Itulah dukungan sejati, ia takkan meninggalkanmu tatkala engkau jatuh dan ia takkan membiarkanmu terlena tatkala engkau jaya. Ia hadir sebagai sinar terang yang mencerahkan.
Sementara yang kedua, dukungan karena culas, adalah dukungan yang menjerumuskanmu masuk ke dalam jurang kenistaan dan kehinaan. Ia mendukungmu karena ia dengki dan hasut kepadamu. Ia mendukungmu dengan harapan suatu saat engkau jatuh terhempas. Dukungan seperti itu selalu akan menyuapimu dengan informasi yang salah sehingga engkau tidak pernah secara tepat memetik hikmah dalam menjalankan amanah. Ia akan menenggeleparkanmu kedalam kehancuran. Lalu pada saat itu ia akan berbalik menyerangmu dengan sejuta cercaan dan cacian seakan ia lah pengadil sempurna.
Yang kedua anakku, bahwa terhadap dukungan yang diberikan orang kepadamu, engkau harus selalu ingat tiga hal, yaitu sabar, tawakkal dan istikharoh. Sabar dalam artian engkau tidak perlu terlena oleh sanjungan orang yang mendukungmu dan tidak perlu kecewa oleh kritikan orang yang menolakmu. Tawakkal dalam artian bahwa engkau harus selalu mengembalikan segala sesuatunya kepada Dzat yang Maha Menguasai, termasuk segenap kemampuan dan kepemimpinan yang engkau miliki-itu pada hakikatnya bukan milikmu, melainkan hanya assesoris yang menjadi media ujian dari-Nya. Istikharoh berarti engkau harus selalu memohon petunjuk langsung dari-Nya mana yang terbaik bagimu dan bagi orang orang di sekelilingmu. Andaikata engkau mampu memegang teguh tiga hal ini, niscaya engkau tidak akan menderita dan sakit hati ketika banyak orang yang mencercamu atas suatu keputusan yang engkau ambil dan engkau yakini kebenaran dan keadilannya. Sebaliknya engkau juga tidak akan sombong dan berbangga diri ketika banyak orang yang menyanjungmu atas suatu keputusan yang menggembirakan mereka.

GRATIS

GRATIS
Oleh Havidz al Abrozzy

Cobalah sekali kali kita berkunjung ke sebuah Rumah Sakit, Panti Jompo atau Rumah Rehabilitasi. Sungguh banyak hikmah yang bisa kita renungkan dari tempat tempat yang saya sebutkan diatas, terutama menyangkut betapa sebenarnya Tuhan telah memberi begitu banyak nikmat dan rezeki setiap harinya, bahkan terhadap hal hal yang kadang kita tidak sadari atau tidak mau kita sadari. Marilah kita berhitung tentang hal itu sejak kita bangun atau dibangunkan di pagi hari oleh mekanisme waktu yang di ciptakan Tuhan, maka andai kita masih memiliki akal sehat, nalar benar dan hati yang terbuka, tentulah akan kita akui bahwa seandainya Tuhan hendak mengkomersilkan seluruh jasa yang Ia berikan, kita takkan mampu membayarnya baik secara kredit apalagi secara tunai.
Tuhan menciptakan kita dengan banyak sekali modal dasar yang seluruhnya free alias gratis. Mulai dari waktu yang lebih banyak kita habiskan untuk kesia siaan, udara sebagai bahan utama mekanisme pembakaran di dalam tubuh kita sehingga kita mampu berkarya, segala sumber daya pribadi seperti kecerdasan, logika, daya konsep, daya pikir, emosi, kekuatan dan hati nurani sebagai polisi tatalaku, panca indera yang lahir dan batin sebagai alat untuk menerima, mengumpulkan dan mengolah informasi, dan jangan lupa sehat sebagai asset penting yang sering kita lupakan. Semuanya diserahkan oleh Tuhan kepada kita tanpa pamrih, cuma cuma dan tersedia dalam jumlah yang sangat luar biasa besar (kuantiti dan kualiti). Lalu apa yang telah kita lakukan untuk membalas jasa yang diberikan Tuhan kepada kita?.
Yang paling utama dan pertama sering kita lakukan adalah mengeluh, terutama karena beberapa kekurangan yang menurut kita menjadi titik lemah pribadi sehingga kita kurang percaya diri dalam berinteraksi dengan sesama manusia. Kita mungkin akan bersepakat dalam satu hal sebelum membahas kekurangan pribadi masing masing bahwa timbulnya kekurangan dan atau kelebihan pribadi adalah karena kita lebih sering memperbandingkan satu sama lain sesama kita, andai kita tidak saling memperbandingkan, tentu tidak akan timbul hal yang kita sebut sebagai kekurangan dan atau kelebihan. Dengan demikian seharusnya kita juga bersepakat bahwa sebenarnya kekurangan dan atau kelebihan yang melekat pada pribadi kita masing masing adalah hanya persepsi daya nalar kita atas informasi yang ditangkap dan dikelola oleh panca indera lahir kita yang cenderung polos dan tidak terliputi nalar batin, artinya informasi yang terkelola itu bisa benar dan juga bisa salah. Andai proses pembandingan itu kita terapkan dalam hal kebajikan yang telah dilakukan, tentu itu akan menjadi daya dorong peningkatan kualitas pribadi, namun di akui atau tidak kita lebih sering menerapkan proses pembandingan terhadap materi yang masing masing kita miliki secara membabi buta dan penuh nafsu, apalagi apabila materi yang kita perbandingkan itu menyangkut bukan hanya tingkat kemapanan hidup melainkan juga menyangkut proses identifikasi pribadi (prestige atau gengsi, gaya hidup, kualitas hidup), maka sungguh salah kaprahlah kita memaknai hidup yang sebenarnya ‘begini begini saja ini’ –meminjam istilah Aa Gym. Saya berpendapat beberapa penyakit hati yang sifatnya lebih ganas dari kanker muncul karena hal ‘sepele’ ini.
Yang kedua dan tak kalah sering kita lakukan adalah menyalahkan pihak di luar diri kita. Pihak itu mungkin lingkungan di mana kita dibesarkan, tinggal dan berkembang, mungkin orangtua yang telah begitu banyak berjasa dalam membina dan mendidik kita sehingga kita menjadi yang sekarang ini, mungkin juga guru, sekolah, tempat kerja, atasan dan bahkan Tuhan-naudzu billah. Kita menyalahkan mereka karena akibat campurtangan mereka lah kita menjadi yang ‘hanya’ sekarang ini. Kita lupa bahwa proses pembentukan diri kita adalah interaksi internal modal dasar fitrah insani kita dengan banyak hal eksternal yang sifatnya hanya merangsang. Sesungguhnya apabila kita lebih cerdas dalam menjalani hidup, kita tidak akan membiarkan fitrah insani kita tercemar oleh virus virus hidup yang disebarkan oleh lingkungan kita begitu saja, apalagi oleh gejala konsumerisme yang mengepung kita sehari hari dari segala penjuru. Kita seharusnya mampu menularkembangkan fitrah insani yang dimiliki oleh semua manusia, bahkan penjahat sekalipun, kepada seluruh alam, bukan hanya manusia melainkan juga binatang dan tetumbuhan serta seluruh jagad raya. Bukankah kita di create untuk menjadi wakil Tuhan, pemimpin alam dan pengelola alam, suatu kedudukan yang bahkan gunung dan malaikat saja tidak mampu mengembannya.
Yang ketiga dan juga sering kita lakukan adalah berputus asa. Kita sering menyerah terhadap dinamika dan romantisme hidup yang naik turun. Kita sering lupa bahwa naik turun, enak anyir, suka duka, senang sedih, sehat sakit adalah hukum alam yang memang berjalan bergantian dan beriringan. Adanya dan pastinya adalah hal mutlak yang mesti menimpa setiap kita, manusia hidup yang memiliki nafas. Bukankah lebih penting dan lebih enjoy apabila kita menata akhlak kita menjadi lebih reliable, handal dan tangguh dalam menghadapi setiap romantika hidup daripada kita memilih berputus asa dan menyerah.
Banyak hal lain yang sering kita lakukan dalam kehidupan ini, yang seluruh fasilitasnya diberikan oleh Tuhan secara gratis, yang mencerminkan betapa kita adalah makhluk makhluk yang tidak pernah bisa berterimakasih.
Sedikit contoh yang bisa kita renungkan adalah sikap kita terhadap gaji yang kita terima setiap bulan. Pernah ingatkah kita sewaktu gaji kita berjumlah tigaratusan ribu rupiah dulu. Mari kita bandingkan dengan gaji kita yang sekarang rata rata satu jutaan rupiah. Apakah ada perbedaan gaya hidup, penambahan asset (konsumtif atau produktif) dan peningkatan pola pemenuhan kebutuhan pokok. Secara garis besar, andai kita mau jujur terhadap diri kita sendiri, semuanya biasa biasa saja, tak ada perbedaan mencolok dari perubahan jumlah gaji yang kita terima. Kita mungkin berkilah bahwa peningkatan jumlah gaji diiringi peningkatan kebutuhan hidup (inflasi, KHM, KFM, KHL). Kita lupa bahwa peningkatan kebutuhan hidup adalah ulah kita, aplikasi daya nalar kita yang telah terinfeksi virus virus hati, tuntutan nafsu kita yang selalu haus dan dorongan pemenuhan kebutuhan tambahan yang sifatnya lebih sering lahiri. Terhadap gaji yang kita terima setiap bulannya, mari kita akui bahwa kita lebih sering merasa kurang daripada merasa lebih, sehingga berat bagi kita menyisihkan sedikit bagian ketika Yayasan Pengasuh Yatim Piatu meminta sedikit haknya. Saat itu kita tidak sadar bahwa secara logika, gaji yang kita terima bukanlah milik kita, karena modal dasarnya diberikan oleh Tuhan secara cuma cuma. Jadi mulai kapan kita akan merubah pola hidup kita sehingga menjadi lebih barakah ?. Bagi saya barakah mempunyai dua arti, yaitu pertama, mampu memberikan nilai tambah bagi peningkatan kualitas pribadi diri kita dan keluarga kita, dan kedua, mampu memberikan manfaat bagi pihak di luar diri dan keluarga kita (bagi alam, lingkungan, tetangga, dan lain mustahik). Haruskah kita merelakan diri kita menjadi sebagian orang yang masuk golongan susah di dunia dan juga susah di akhirat ?.

PUJIAN

Oleh Havidz al Abrozzy
Hakikat pujian adalah semuanya milik Tuhan, sebab segala sesuatunya berasal dari Tuhan, baik faktor pemuji maupun yang dipuji. Pujian bisa dipilah menjadi empat, yaitu :
Pujian Tuhan kepada makhluk-Nya, seperti pujian Allah kepada Muhammad SAW ‘Dan sungguh engkau Muhamma benar benar memiliki akhlak yang agung’.
Pujian makhluk kepada Tuhannya, seperti ketika kita melihat langit yang cerah dengan dihiasi bintang kerlap kerlip dan bulan yang bersinar terang, lalu kita memuji ‘Duh Tuhan, betapa maha indahnya Engkau dengan ciptaanmu yang tiada banding ini’.
Pujian makhluk kepada sesamanya, seperti ketika kita bertemu dengan seseorang yang begitu ganteng atau cantik lalu kita berkata, ‘Wah, cantik benar dirimu’.
Pujian Tuhan kepada dirinya sendiri, dalam al Quran terdapat beberapa ayat yang menegaskan kehebatan Allah yang disampaikan oleh Allah SWT sendiri.
Pujian model pertama pada hakikatnya Tuhan memuji diri-Nya sendiri melalui ciptaan sempurna-Nya yang bernama Muhammad SAW. Melalui Muhammad SAW, Allah menunjukkan ketepatan pilihan-Nya atas manusia terpilih sebagai dasar penciptaan makhluk lainnya.
Pujian model kedua adalah pujian yang langsung menuju kepada-Nya, yang ditiupkannya ke hati orang orang yang beriman sebagai tanda cinta kasih-Nya yang tulus dan tanpa pamrih dalam rangka mempertebal keyakinan kecintaan hamba hamba-Nya yang juga ikhlas.
Pujian model ketiga adalah pujian yang memang secara tidak langsung dilontarkan kepada-Nya, karena melalui perantaraan ciptaan yang sempurna, sebab mustahil ciptaan yang sempurna dilahirkan oleh ‘tangan’ yang tidak sempurna, maka pujian model ketiga sebenarnya berbunyi, ‘Duh Tuhan betapa hebatnya Engkau yang telah menciptakan Si Fulan dengan cantik rupawan seperti ini’
Pujian model keempat adalah penegasan keperkasaan, kemahaan, kehebatan dan ketaktertandingi-Nya Allah oleh ciptaan-Nya. Pujian model ini ingin menunjukkan kepada ciptaan-Nya bahwa tidak ada yang patut dipuji melainkan hanya ditujukan kepada Dzat Yang Maha Terpuji.
Inilah intisari pujian sebagaimana dijelaskan dalam banyak literatur salaf yang menjadi rujukan pokok di sebagian besar pesantren. Setelah kita mengetahui intisari pujian, apa tindakan kita ?.
Pertama, dalam memuji orang lain atau siapapun hendaknya selalu dilandaskan kepada kekuasaan Allah semata, yaitu kita tidak memuji sesuatu melainkan karena dan hanya untuk Allah, meski pujian itu kita sematkan kepada ciptaan-Nya secara lahiriah.
Kedua, pujian yang diberikan orang lain kepada kita hendaknya kita kembalikan kepada Pemilik Sejatinya, sebab sejatinya kita ini makhluk lemah yang tidak punya daya dan upaya melainkan atas perkenan-Nya. Kesadaran pengembalian ini akan membuat jiwa kita tidak takabbur, sebab kita mengetahui dan merasakan dengan pasti ketidakmampuan kita dihadapan Dzat Yang Maha Mampu.
Ketiga, kita harus mampu mensejajarkan pujian dan celaan sebab keduanya hakikatnya adalah nikmat kontan-Nya yang diberikan kepada kita. Sebagaimana pujian yang tidak membuat takabbur, maka celaanpun harus tidak membuat kita rendah diri dan dendam.
Keempat, atas segala sesuatu yang terjadi dalam diri kita dan lingkungan kita, pujian kepada Allah harus terus menerus dipatri dalam hati sampai menjadi lukisan abadi. Caranya, sambungkanlah segala sesuatunya kepada-Nya, insya Allah akan ditemukan hikmah besar dari setiap peristiwa dan kejadian. Amin.

Tentang Majelis At-Tawbah

Majelis ini didirikan pada Rajab 1425 H sebagai wahana perekat kekeluargaan antar perantau dari daerah Jawa Tengah dan sekitarnya oleh Hafizullah Ahyak.
Kegiatan utama majelis ini adalah pembacaan dzikr yaitu Ratib al Haddad yang disusun oleh al Habib Abdullah bin Alwiy al Haddad, pendiri tarekat Haddadiyyah yang merupakan penerus dari Tarekat Bani Alawiy. Selain pembacaan ratib al haddad, majelis ini juga membaca Manaqib Jawahirul Maani li Syaikh Abdul Qadir al Jailaniy RA susunan Syaikh Muhammad Ishaq Umar Pasuruan setelah mendapat ijazah dari (alm) KH Mudzaffar Pekalongan pada tahun 1998. Juga menjadi agenda utama majelis ini adalah pembacaan Mawlid Simtud Durar setelah mendapat ijazah dari al Arif Billah al Habib Luthfi bin Yahya Pekalongan yang juga Mursyid Thariqah Syadzaliyyah Alawiyyah pada tahun 1996.
Mulai Syaban 1426 H, beberapa jamaah majelis ini menjadi murid al Arif Billah Al Habib Irfan Baalawiy yang merupakan Mursyid Qadiriyyah, sehingga mulai Rajab 1428 H, majelis ini membaca Mawlid ad Dibai untuk menambah qurbah dan barakah dari Sang Guru Mulia al Habib Irfan Baalawiy.
Kegiatan majelis ini dilaksanakan rutin setiap bulan sekali dengan tempat penyelenggaraan berpindah pindah dari satu rumah jamaah ke rumah jamaah lainnya secara bergiliran. Majelis ini beranggotakan kurang lebih 25 jamaah aktif, alamat majelis ini adalah Kebon Nanas RT 6/7 Cikokol Tangerang.
Anda bisa menghubungi 08151466459 (Akhi Hafizd) atau 081548097715 (Akhi Wahyono) untuk mengetahui lebih lanjut tentang majelis ini.
Insya Allah, majelis ini akan dikembangkan juga dengan pengajaran beberapa pengetahuan dasar keislaman dengan menggunakan referensi kitab kitab klasik (kitab kuning).

CITA CITA

Oleh Havidz al Abrozzy
Manusia normal pasti memiliki cita cita. Cita cita adalah pencapaian, orientasi tujuan, visi atau dalam bahasa Toto Tasmara ‘alamat-prinsip-makrifat’. Cita cita dijadikan sandaran kegiatan dan aktifitas, kemana akan melangkah dan bagaimana cara melangkahnya. Normalitas manusia merengkuh cita citanya adalah bukti bahwa hidup bukan hanya sekedar aktifitas rutin yang tidak mempunyai makna. Andai hidup adalah aktifitas rutin yang tidak mempunyai makna, tentu akan timbul kejenuhan mendalam yang berujung pada stres dan bunuh diri-atau yang semacamnya. Bayangkan, anda melakukan pekerjaan anda hanya untuk memenuhi kebutuhan pangan perut-makan dan minum, pakaian dan sarana tinggal, lalu setelah beberapa diantaranya tercapai, apa yang akan anda rasakan ?. Apakah pekerjaan yang anda geluti hanya untuk memenuhi kebutuhan pangan saja ?. Saya yakin sebagai manusia normal, anda akan menjawab dengan tegas tidak atau bukan hanya untuk itu. Dan itu sungguh sangat normal.
Pentingnya cita cita
Sebab manusia mempunyai cita cita maka ia memiliki tujuan dan arah. Maka perlu disediakan sarana untuk pencapaian cita cita manusia. Pendidikan misalnya. Fungsi utama pendidikan yang mengajarkan peradaban dan budaya adalah dalam kerangka besar pencapaian cita cita manusia. Sebagai makhluk dinamis aktif, manusia selalu berusaha bertumbuh dan bertumbuh, berubah dari waktu ke waktu, berusaha meningkatkan pencapaian pencapaiannya, tentu dalam rangka memenuhi kebutuhan dasar sebagaimana disebutkan dimuka. Sebagai fitrah yang tidak terelakkan, cita cita harus didayagunakan seoptimal mungkin dalam rangka proses menuju penghambaan kepada Tuhan. Mengapa demikian ?.
Proses memaknai cita cita
Ketika kecil dulu dan kita ditanya oleh orangtua kita ingin jadi apa kelak ketika dewasa, kita selalu menjawabnya dengan berbagai profesi yang menurut budaya kita termasuk profesi yang membanggakan baik secara mental moral maupun material semisal dokter, pengusaha, presiden, menteri, jenderal, rektor atau kyai. Profesi dokter disamping membanggakan secara mental dan moral juga membanggakan secara material. Secara mental moral, dokter adalah penolong orang orang yang tertimpa musibah, penawar solusi dari salah satu keruwetan hidup yang terus berlanjut dan bermodifikasi. Secara material, profesi dokter adalah profesi yang menjanjikan, sebab selama makhluk yang bernama manusia masih ada maka makhluk yang bernama penyakitpun akan bertumbuhkembang bahkan kenyataan menunjukkan semakin canggih teknologi semakin canggih pula model penyakitnya, lihatlah anthrax, AIDS, PKM, flu burung, kanker darah dan yang semacamnya. Artinya secara ekonomis berdasarkan hukum permintaan dan penawaran, profesi dokter adalah profesi pemegang kekuatan dalam proses tawar menawar pasar. Apalagi sejumlah sinetron kita menayangkan kemewahan profesi ini dengan tipikal yang ‘wah’.
Profesi presiden, menteri dan jenderal tentu profesi yang membanggakan dari aspek manapun, sebab profesi profesi ini hanya bisa dicapai oleh orang orang dengan kualifikasi tertentu yang memerlukan banyak prasarat, tentunya prasarat prasarat itu tidak mudah dicapai dan digapai apalagi di era yang mengagungkan demokrasi berdasarkan kuantitas seperti sekarang.
Profesi kyai membanggakan terutama dari sisi mental dan moral, sebab sebagai pewaris Nabi, kyai memiliki peran penting dalam mengawal akhlak masyarakat, menjaga dan memeliharanya agar sesuai dengan ajaran dan tuntunan Nabi, memang berat dan terkadang tidak menghasilkan sesuatu yang sepadan secara materi, tetapi profesi ini tetap membanggakan karena berkaitan dengan aspek emosional atau panggilan nurani.
Profesi pengusaha lebih membanggakan dari sisi materi. Orang kaya raya yang dapat membeli segala kebutuhan dan keinginannya adalah idaman banyak orang. Kekayaan menjadi salah satu atau bahkan satu satunya hal penting yang diincar sebagian besar manusia dalam menjalani kehidupannya. Bayangkan, anda dapat pergi kemanapun dengan membawa apapun atau siapapun dengan mudahnya, dilimpahi segala fasilitas kehidupan dan bergelimang serba kelebihan, sungguh profesi yang begitu menggiurkan. Zaman yang menawarkan segala kemudahan dan kemanjaan ini hanya bisa dinikmati oleh profesi ini.
Tipikal tipikal profesi yang sering kita sebut di masa kanak kanak kita seperti diatas tentu tidak menyalahi kodrat. Apalagi di masa kanak kanak, imajinasi kita masih sangat liar dan merdeka. Pada waktu itu, kita melihat potret kita saat dewasa melalui orang orang di sekitar kita. Dan lingkungan menyediakan tipikal yang memang memenangkan kemewahan dan kunggulan. Profesi seperti tukang gali sumur, buruh pabrik, tukang pukul batu, pengeduk pasir, petani, pembuat tahu, penjual gorengan, kuli bangunan dan beragam profesi ‘nonformal’ lainnya secara otomatis dan pasti terpinggirkan dari hiruk pikuknya kemegahan globalisasi. Padahal tidak ada yang salah dari profesi profesi yang terakhir itu. Toh, secanggih canggihnya sistem konstruksi bangunan, Menara Kembar di Malaysia misalnya, tetap membutuhan bata merah, batu, pasir dan semen sebagai bahan utamanya. Toh, secanggih canggihnya Mc Donald mengemas produk berbagai fast food, manusia tetap membutuhkan nasi sebagai salah satu bahan utama makanan pokoknya. Lalu, mengapa profesi ini terpinggirkan ?.
Bahkan, setelah dewasa dan memiliki tanggungjawab besar sebagai kepala keluarga pun, kita masih sering bercita cita untuk menjadi sesuatu yang lain, yang sangat berbeda dari profesi keseharian kita saat ini, contohnya adalah seorang kuli bangunan yang masih memimpikan menjadi insinyur teknik sipil yang mengepalai proyek triliunan rupiah sementara secara faktual, kepala sudah beruban dan umur mulai menginjak usia tidak produktif (40 tahun atau lebih), atau kalau tidak, kita masih menganggap –secara sadar atau tidak- profesi sebagai insinyur teknik sipil lebih mulya dibanding profesi kuli bangunan, akibatnya muncul rasa rendah diri (inferiority) yang mendalam yang menyebabkan kita bermental budak, sendiko dawuh terhadap kekejaman sistemik globalisasi. Sekali lagi, tidak salah apabila alam bawah sadar kita memiliki keyakinan beberapa profesi lebih mulya dibanding beberapa profesi lainnya, yang terpenting adalah bagaimana kita bisa memaknai cita cita kita dan menjalankannya sesuai kodrat. Andai cita cita melulu disandarkan kepada keunggulan keunggulan dan kemewahan –apapun bentuk dan modelnya- maka akan banyak sekali manusia yang gagal menjalani hidup ditinjau dari pencapaian cita citanya.
Era informasi seperti sekarang memiliki hukum tersendiri tentang makna pencapaian cita cita. Kesuksesan diukur dari sisi kuantitatif, materialisme dan kepemilikan. Sebanyak apakah engkau memiliki sesuatu, itulah ukuran kesuksesanmu, indikator pencapaian cita citamu. Ingat, definisi Kiyokasi tentang kekayaan. ‘Kekayaan adalah sejumlah uang atau materi yang dengannya engkau dapat memenuhi seluruh kebutuhanmu tanpa engkau melakukan pekerjaan’. Pendefinisian semacam ini mendorong manusia untuk menumpuk dan memiliki, sebab semakin banyak menumpuk dan memiliki, maka semakin kaya. Dan era informasi menyediakan berbagai sarana dan sistem yang berkiblat ke arah sana. Akibatnya ya itu tadi, beberapa profesi menjadi superior sementara profesi lainnya menjadi inferior. Kiyosaki selalu menggambarkan dengan perbandingan 90:10 yaitu 10% manusia menjadi superior yang wajib dilayani dan disembah sembah atau bahkan kalau perlu dijadikan Tuhan yang selalu benar dan 90% manusia menjadi inferior yang harus melayani dan menyembah apabila ingin tetap terjaga eksistensinya sebagai manusia, dengan kata lain 90% manusia perlu menjadi budak kapitalisme untuk memenuhi segala kebutuhan hidupnya. Maka tuhan tuhan baru bermunculan seperti Bill Gates, George W Bush atau Ariel Sharon, juga PBB, NATO dan Amerika Serikat. Dan itulah fenomena faktual kita akhir akhir ini.
Kodrat manusia
Tuhan menciptakan manusia dalam kerangka besar menjadi pengganti-Nya dalam mengatur dan mengelola bumi jagat raya dan segala isinya. Tugas sebagai pengganti ini sungguh maha berat dan sekaligus hebat yang tidak semua makhluk dapat memikulnya. Ingat, pak ustadz dulu pernah menceritakan proses delegasi keterwakilan ini sebagaimana disebutkan dalam al Quran bahwa mula mula tugas ini diberikan kepada makhluk lain selain manusia dan hanya manusia yang sanggup menjalankannya. Ingat pula, saat Tuhan hendak menciptakan Adam. Malaikat sebagai makhluk kinasih-Nya menyatakan protes dengan membeberkan segala resiko dan konsekuensi penciptaan itu, lalu Tuhan menjawab bahwa Ia lebih tahu dibanding makhluk-Nya. Lalu, ingatlah pula ketika Tuhan menyuruh malaikat dan penghuni sorga lainnya untuk sujud kepada Adam sebagai bukti keunggulan dan kehormatan yang dimilikinya.
Apa artinya itu semua ?. Garis merah yang bisa kita baca adalah bahwa Tuhan menciptakan dunia dan segala isinya untuk didayagunakan bagi kepentingan manusia. Maka manusia dibekali tidak hanya dengan kekuatan kekuatan malaikat saja, tetapi juga kekuatan kekuatan ketuhanan. Ia ciptakan manusia dengan segala potensi dan keunggulan. Ia bocorkan sebagian ilmu-Nya yang luar biasa kepada manusia sementara kepada malaikat saja tidak. Semuanya dalam kerangka pengaturan dan pengelolaan dunia seisinya.
Frame kekhalifahan inilah yang menyebabkan manusia memiliki budaya dan peradaban. Sebagai makhluk aktif dinamis, manusia berusaha meningkatkan pencapaian pencapaiannya melalui penggalian dan penambahan ilmu pengetahuan. Pencapaian pencapaian itu terimplementasikan melalui media teknologi yang semakin maju dan berkembang dari waktu ke waktu.
Lalu, muncullah berbagai bagai profesi dan predikat. Apabila semula Adam memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri bersama Hawa istrinya, maka timbullah spesialisasi spesialisasi. Sebab manusia tidak mungkin terus menerus mencari kulit binatang untuk dijadikan bahan pakaian, memakan dagingnya untuk menutupi rasa lapar dan menggunakan tulangnya untuk berburu. Manusia butuh pakaian yang lebih fashionable, good look dan tentu saja modis. Manusia juga butuh tidak hanya sekedar nasi atau daging sebagai penghilang rasa lapar, melainkan juga racikan bumbu bumbu tertentu dan sistem penanakan yang terjaga prosedurnya serta cara pengemasan yang apik, lalu muncullah Mc Donald, Teppanyaki, Es Teler dan merk merk branded lainnya. Manusia juga butuh komunikasi sebagai sarana penunjang aktifitasnya, maka muncullah telepon selular dengan segudang features yang sebenarnya tidak perlu namun kemudian menjadi perlu karena ajaran perubahan dan kemajuan teknologi. Manusia juga butuh alat transportasi dalam rangka menunjang mobilitasnya, apalagi untuk memenuhi kebutuhan proyek proyek besar yang harus tepat waktu, alat transportasi harus didesain seefektif dan seefisien mungkin, maka terciptalah kapal terbang, taksi udara, subway, busway dan yang semodel.
Berbagai kebutuhan manusia yang semakin kompleks dan beragam itu secara otomatis menciptakan spesialisasi spesialisasi profesi yang disandang manusia. Spesialisasi spesialisasi itu tentunya dalam kerangka menyempurnakan pemenuhan kebutuhan manusia yang sering bertambah komplek dan rumit. Namun demikian, setiap profesi pada hakikatnya saling membutuhkan satu sama lain. Profesi yang satu menjadi komplementer bagi profesi lainnya, keahlian A dibutuhkan agar keahlian B dapat bekerja sempurna. Apa contoh faktualnya ?. Seorang presiden tetap membutuhkan tukang gali sumur untuk menyediakan keperluan mandinya di istana. Seorang insinyur tetap membutuhkan tukang pukul batu, tukang gali pasir dan pembuat bata merah untuk menyediakan segala keperluan proyek konstruksinya. Seorang menteri tetap butuh petani untuk menyediakan nasi di meja makannya. Seorang dokter tetap membutuhkan tukang pijat tunanetra untuk menghilangkan penat tubuhnya yang menekan. Jadi semua profesi adalah sunnatullah yang saling mengisi satu sama lain, saling membutuhkan satu sama lain dan tentu saja sejajar satu sama lain. Lalu kenapa di sekitar kita tercipta superior dan inferior ?.
Sandaran cita cita
Semata mata karena kita salah memaknai cita cita, kita jadi salah pula memaknai profesi kita hari hari ini. Anda yang kuli bangunan, buruh pabrik, tukang gali sumur atau tukang pukul batu adalah cinta kasih Tuhan yang nampak jelas dan penting dalam proses harmonisasi kehidupan. Maka, kita harus menanamkan kepada anak anak kita, istri dan saudara kita, orangtua kita dan sesama kita sendiri bahwa menjadi apapun- setinggi apapun cita cita, tetap harus kita sandarkan kepada kodrat penciptaan kita, yaitu sebagai pengganti-Nya dalam mengelola dan mengatur dunia seisinya diiringi dengan semangat penghambaan hanya kepada Dzat yang memiliki wewenang untuk mewakilkan yaitu Tuhan. Andai kita ditunjuk Tuhan untuk mewakili-Nya sebagai tukang gali sumur, itulah profesi kita yang paling indah dan sempurna yang Ia anugerahkan kepada kita. Proses pemaknaan cita cita dengan sandaran yang transendental sifatnya seperti ini akan membuat kita tahu aturan. Sebagai wakil, sungguh kedudukan kita tidak lebih mulya dari yang diwakili, maka seharusnya kita mendudukposisikan semua wakil-Nya dalam posisi yang setaraf sederajat –tidak lebih tinggi atau rendah satu sama lain. Kesadaran kesetaraan kesederajatan ini akan menjaga kita dari sifat sombong apabila Ia menitipkan sebagian keunggulannya pada kita dan sifat hina apabia Ia menitipkan kemahaperkasaan-Nya dalam menyelesaikan beban beban berat dan sulit kehidupan. Bukankan sungguh nikmat apabila kita saling menghargai dan menghormati dengan prinsip engkau dan aku sama saja. Yang paling utama dari semuanya adalah mari kita bersama sama mengingat bahwa kedudukan kita, prestasi kita, kehebatan kita dalam menjalankan tugas perwakilan itu hanya diukur dari kadar takwa kita kepada Dzat yang memilih kita untuk mewakili-Nya. Ia tidak melihat rupa dan asesoris kita, seberapa banyak yang kita kumpulkan dan miliki atau pencapaian pencapaian materi lainnya, Ia hanya melihat kebersihan dan kesucian hati kita dalam melaksanakan amanah-Nya, Ia hanya melihat sejauh mana kita mampu memberikan manfaat kepada wakil wakil-Nya yang lain di dunia agar proses harmonisasi itu tetap terjaga dan lancar. Ia tidak melihat nampak luar kita tetapi justru melihat fondasi utama penggerak tingkah polah kita di kedalaman hati. Ia mengukur keikhlasan dan tawakkal kita terhadap berbagai ketentuan-Nya. Ia menilai sejauh mana kedewasaan menyikapi hidup kita miliki dan kembangkan dalam menghadapi kompleknya problema dan dilematika. Ia mengukur keaslian bukan topeng. Ia mengukur dasar yang hanya kita yang tahu persis kondisi kesehariannya. Mampukah kita merubah sandaran cita cita kita ?. Mampukah kita menjadikan la ilaha illa allah sebagai bahan utama racikan resep hidup ?. Semoga.

RAMADHAN YANG MEMBERKAHI Oleh Hafizullah Ahyak

Cobalah tengok aktifitas ekonomi di bulan Ramadhan. Pedagang musiman yang hanya menjajakan dagangannya di bulan ini melimpah ruah. Seperti semut yang berebut gula, setiap pedagang menawarkan kebutuhan konsumen khusus untuk menghadapi Ramadhan. Lihatlah, pedagang kelapa muda di pinggir jalan atau pedagang ‘ketimun suri’ atau pedagang buah segar, semuanya dalam rangka menyambut Ramadhan. Mari kita berhitung, seandainya tiap pedagang kelapa muda menghabiskan kurang lebih 20 butir setiap hari dengan harga per butir Rp 4000, maka ia dapat mengumpulkan uang sebanyak kurang lebih Rp 80.000 per hari. Seandainya dalam 1 km jalan raya terdapat 3 pedagang, berarti telah terjadi perputaran uang Rp 240.000 per hari. Hitunglah sepanjang jalan raya di kota kota besar seperti Jakarta, Bogor, Tangerang dan Bekasi. Berapa omsetnya ?. Hitung pula pedagang pedagang musiman lainnya. Sungguh, semuanya mencerminkan kemahakayaan Tuhan. Allahu Ghoniyyu.
Di kampung halaman saya yang teduh, ada pameo kecil yang sering didengungkan pebisnis rumahtangga, yaitu ‘mengejar lebaran’. pameo ini digunakan untuk menaikkan tingkat produksi sebelum dan selama Ramadhan dalam rangka memenuhi kebutuhan Hari Raya. Pebisnis busana muslim, peci atau pernak pernik kecil lain selalu mendapatkan margin yang lebih besar selama Ramadhan. Ini juga gambaran betapa Tuhan sungguh Maha Lapang.
Sungguh mengherankan pula, beberapa buah tertentu yang menyegarkan biasanya mengalami masa panen saat Ramadhan. Tentu, tingkat konsumsi buah segar selalu berkecenderungan meningkat mengingat banyak hal, antara lain :
Pertama, bulan Ramadhan adalah bulan puasa. Aktifitas yang melelahkan sepanjang siang mendatangkan kerinduan tersendiri terhadap sesuatu yang menyegarkan semisal buah buahan.
Kedua, adalah salah satu sunnah Rasulullah untuk berbuka dengan sesuatu yang manis dan buah buahan adalah salah satu alternatif.
Kembali kita harus melihat, bahwa ini adalah gambaran kemaha- pengaturan Allah. Tuhanlah yang menentukan musim, yang menggantikan siang dengan malam dan yang memberikan kesegaran dan rasa manis pada buah buahan yang kita makan. Ramadhan memang memberkahi, bulan yang seharusnya kita jadikan ruh aktifitas sepanjang tahun ini selalu menceritakan banyak hal dan hikmah. Ia begitu elegan mengajarkan kearifan dan kesantunan.
Jika anda adalah seorang perantau yang menghabiskan waktu dengan beraktifitas di kegersangan duniawi, anda pasti bisa melihat keberkahan Ramadhan. Saat anda menuju tempat kerja misalnya, dalam angkutan umum yang selalu penuh sesak oleh manusia dan kepentingannya, hitunglah orang yang merokok lalu bandingkan dengan bulan lain selain Ramadhan. Hitunglah berapa penghematan yang bisa dilakukan. Hitunglah berapa efek negatif yang secara otomatis berkurang dan bahkan hilang yang tidak bisa diukur dengan sistematika kuantitatif semisal kesehatan, polusi dan ketegangan ketegangan emosional. Anda juga harus melihat, kecenderungan beberapa pengamen yang lebih memilih melantunkan lagu lagu rohani. Kita harus melihatnya dalam konteks dakwah, yaitu bagaimana membuat nyanyian itu tidak hanya sekedar lantunan yang sifatnya ekonomis pragmatis tetapi juga bagaimana agar nyanyian itu menjadi lantunan uluhiyyah yang menghunjam dalam dada dan membekas dalam hati sehingga menjadi pedoman tingkah laku, hal mana tidak bisa terwujud apabila tidak dimulai dengan nyanyian- sesuatu yang memang mereka bisa dan biasa.
Pada saat di tempat kerja-apapun pekerjaan anda- mari kita lihat kecenderungan sebagian besar orang untuk mengisinya dengan ibadah. Etos yang dilandasi keikhlasan menjalani profesi sebagai bagian yang mesti dilakukan untuk menegakkan harmonisasi kehidupan- kasih sayang Allah melalui sunnah-Nya. Kita pasti sering mendengar ‘awas, jangan berbohong, bisa batal puasanya’. Ungkapan sepele yang bermakna besar yang mengajarkan kepada kita untuk bekerja jujur bukan hanya pada saat puasa melainkan sepanjang hayat di kandung badan.
Lihatlah pula, jumlah orang yang i’tikaf di masjid masjid selama Ramadhan. Keluh kesah kehidupan yang menyesakkan tumpah ruah di hadapan sajadah sajadah dingin, membumbung tinggi ke angkasa lalu tercatat rapi dalam database-Nya yang canggih untuk dibalas satu per satu (atau bahkan sekaligus dan kontan) dengan sangat pasti dan meyakinkan. Saya pribadi mempunyai keyakinan, semakin banyak manusia yang menjadikan Allah sebagai tumpuan keluh kesahnya, sebagai benteng pertama dan utamanya dalam menghadapi berbagai persoalan hidup maka akan semakin kecil pula jumlah orang stress.
Ramadhan juga ‘memaksa’ kita untuk bangun tengah malam, setidaknya untuk sahur sebagai bagian penting (sunnah) dalam menjalankan ibadah puasa. Kebiasaan bangun tengah malam ini harus tetap dijaga meski Ramadhan telah usai, sebab salah satu waktu utama yang memudahkan terkabulnya doa adalah sepertiga malam yang terakhir. Ingat, pak ustadz dulu pernah berwasiat bahwa pada tengah malam, Allah menantang manusia untuk menuturkan segala keluh kesahnya dengan jaminan solusi terbaik yang sering tidak pernah terpikirkan oleh jangkauan daya nalar yang memang terbatas kapasitasnya. Secara gamblang, pada saat itu Allah mengajak hamba-Nya untuk memadu kasih-berpacaran dan melepas kangen.
Namun, diatas semuanya, kita harus tetap waspada, terutama terhadap peringatan Nabi yang menyatakan bahwa tidak sedikit orang yang berpuasa yang tidak mendapat apapun melainkan rasa lapar dan haus. Peringatan ini harus kita jadikan pembatas yang jelas dan tegas bagi nafsu kita yang secara kimiawi memang menggelora. Puasa yang kita lakukan harus menyangkut segala aspek, bukan hanya pergantian waktu makan dan minum saja. Seluruh anggota badan, keinginan keinginan duniawi, sifat sifat jelek, niat mencelakakan dan seabrek kekuatan negatif lainnya harus juga dipuasakan, bukan hanya selama Ramadhan tetapi juga setelahnya.
Kita harus menjadikan Ramadhan sebagai sarana pembibitan kekuatan kekuatan positif, agar dapat kita panen hasilnya selama kita hidup di dunia dan kekekalan di akhirat nanti, dan ini bisa terlaksana apabila secara perlahan lahan kita membuka dinding hati kita dalam melihat dan menyaksikan, mengalami dan merasakan, bersentuhan dan bergelut bergulat dengan kehidupan sehari hari yang selalu dinamis dan bertumbuh. Kita petik mutiara mutiara cinta uluhiyyah dari setiap proses, termasuk proses yang paling pahit dan getir sekalipun. Sebab, dibalik setiap peristiwa ada tangan tangan Allah yang bekerja didalamnya. Sungguh, Ramadhan memang memberkahi.

DELMAN Oleh Hafizullah Ahyak

Sekali kali kita perlu naik delman untuk menggetarkan hati kita yang terlalu kering kerontang dari cinta-Nya yang suci. Kenapa delman ?. Sebab delman adalah alat transportasi konvensional yang mengajarkan banyak hal, kalau hati kita sensitif. Tidak percaya ?.
Coba lihatlah kuda sebagai penggerak utama (ruh dinamisasi) delman. Pernahkan anda melihat kuda mengeluh karena mengangkut banyak beban (orang dan barang) setiap hari, menempuh jarak yang tak terhitung ?. Pernahkan anda melihat kuda protes kepada Pak Kusir, karena rumput yang diberikan kurang basah misalnya ?. Kuda penarik delman adalah lambang keikhlasan, kepasrahan total dan pengabdian penuh. Kuda menjalankan kodratnya dengan semangat cinta, cinta kepada yang menghidupinya. Kuda menapaki jalan jalan terjal kehidupannya dengan prinsip inna sholati wa nusuki wa mahyaya wa mamati lillahi rabbil ‘alamin.
Lalu, coba anda lihat roda delman yang besar ?. Apa yang anda saksikan ?. Roda itu bulat bentuknya dan harus berputar agar delman bisa bergerak. Ya, harus berputar. Begitupun kehidupan kita. Kita harus bergerak agar terus hidup. Sebagaimana delman dengan rodanya yang berputar berjalan menapaki hidupnya, kita juga berputar dalam menempuh jalan terjal kehidupan. Sebagaimana roda delman yang tidak mungkin menapaki jalannya yang telah lalu, kita juga tidak akan pernah menapaki hidup kita yang telah lalu. Perbedaannya adalah roda delman tidak dimintai tanggungjawab terhadap perputarannya sedangkan kita akan diinterogasi secara detail polah tingkah kita dengan saksi anggota badan kita sendiri.
Sekali kali, coba ketika anda menaiki delman sambil menikmati sore yang indah, tandai salah satu bagian roda delman dengan kapur atau spidol atau apapun yang mencolok warnanya. Anda terus perhatikan ketika delman mulai berjalan, tanda itu perlahan tapi pasti akan bergerak turun dan terus turun sampai titik terendah lalu naik dan naik lagi sampai titik tertinggi kemudian turun dan terus turun, begitu seterusnya. Kurang lebih kehidupan kita sama dengan roda delman itu. Kadangkala Tuhan menguji kita dengan kelapangan, kemudahan, kekayaan, kemulyaan, nama baik, pangkat, jabatan atau ‘hal hal indah’ lainnya yang sering mudah melenakan daripada mengingatkan. Tidak jarang pula kita diuji dengan kesempitan dan kesulitan, bertumpuknya hutang, tidak terpenuhinya kebutuhan hidup, kurangnya ilmu dan kesempatan, dan seabrek sapaan sapaan cinta-Nya yang lain, kita pun sering mengeluh dan berduka cita karenanya, sesuatu yang memang wajar tetapi tidak boleh melampaui batas.
Terhadap naik turunnya hidup ini, kita semua mesti sadar bahwa andaikata saat ini kita sedang diatas, suatu saat nanti kita pasti turun dibawah, maka sebaik baiknya kita ketika mengalaminya adalah menyiapkan diri sesempurna mungkin agar pada saat turun nanti tidak merasa kaget atau ‘gumun’. Pun ketika kita masih dibawah, kita harus menyiapkan diri sesempurna mungkin agar pada saat naik nanti tidak menimbulkan kesombongan, kedurhakaan dan kesewenangan. Sayangnya kita sering lupa.
Barangkali karena kita lebih memilih mobil dengan kecepatan tinggi daripada delman dalam mengiringi aktifitas, kita sering tidak sadar bahwa roda terus berputar. Maka jangan heran apabila pada saat berada di puncak, kita terus menerus melakukan kesewenangan sistemik sementara pada saat di dasar, kita terus memaki maki Allah. Na’udzu billah.

LAUTAN TAK BERPANTAI Oleh Fitri Adi

Saudaraku yang berbahagia,
Sungguh mulia seorang ulama yang telah menyaksikan keindahan dan keagungan lautan yang tak bertepi, karya sempurna dari yang Maha sempurna. Beliau adalah seorang hamba yang dilimpahi cinta dan cahaya, hamba terpilih dan terkasih radliallahu ‘anhu. Wallahu kholaqokum wayakhtar. Walaupun kita kaum awam hanya bisa membayangkan, marilah bersama coba kita lihat ke seluruh permukaan jagad…
Pada setiap gerakan tubuh, setiap tarikan nafas, setiap aliran darah, setiap denyut dan pompa jantung , setiap kedipan mata, setiap perjalanan butiran makanan yang dicerna dalam perut, setiap tumbuh rontok rambut, setiap perjalanan sel sperma menuju sel telur, setiap pertumbuhan daging, setiap gerak ide pikiran, setiap rubahan imajinasi, setiap lintasan rasa dalam hati, setiap kelahiran dan kematian, setiap goyangan daun, setiap tetes air, setiap gelombang air, setiap arak-arakan awan, setiap tari buih lautan, setiap debu yang berterbangan, setiap tiupan angin, setiap arus sungai, setiap putaran planet, setiap pergantian siang dan malam, setiap putaran musim yang membawa putaran rezeki, setiap perang dan damai, setiap huruf yang ditulis, setiap lirik yang dicipta, setiap cerita yang dikarang, setiap serah terima laci-laci lemari dan brankas, setiap pelayanan meja dan kursi, setiap putaran roda, setiap rusak dan lapuknya benda-benda dimakan usia, setiap pertumbuhan gedung-gedung, setiap ritual agama, setiap pencerahan, setiap perkembangan ilmu pengetahuan,….
Setiap kematian yang diolah menjadi kehidupan…
Dan setiap..setiap…yang lain….. wallahu yakhluqu ma yasya’ wayazidu… ma yasya’ yang semuanya bergerak tanpa henti, subkhanllah everything move semuanya bergerak dan terus bergerak, semuanya hidup dan Engkaulah yang Maha hidup. Subhanalhayyilladzy la yamutu abada. Semuanya berputar dalam lintasannya, wakullun fi falakiy yasbakhun, bergerak bagaikan ombak berkejaran yang tak pernah menyentuh bibir pantai, subkhanllah biqudrotih dalam komando Sang Wahidul qohhar, dalam aturan main kulla yaumin hua fi sya-an.
Begitu banyak pujian dalam alquran kepadaNya, karena memang totok-totokane weruh adalah puja dan puji kepada Ahmad yang Maha terpuji. Sungguh yang Maha Indah yang memulai kalamNya dengan alkhamdulillah, sucikanlah nama Tuhanmu yang maha tinggi subkhanarobbiayal’azhimi wabikhamdih. Dan manusia yang paling bodoh adalah manusia yang paling mengerti yang tidak bisa berkata selain oh… Tuhan aku tidak tahu apa-apa tentangMu…. Al ummi..
Subkhanallah…Allahu a’lamu bimurodih..

PERJALANAN SEEKOR LALAT Oleh Fitri Adi

Saudaraku yang berbahagia,
Nun jauh di sebuah tempat, di tempat yang kumuh, kotor dan menjijikkan bagi manusia hiduplah sekumpulan lalat, lestari berkembang biak, beranak pinak turun temurun generasi pergenerasi. Tumpukan kotoran adalah sorga bagi mereka, bau busuk serasa harum wewangian sorga menyengat hidung membangkitkan gairah dan selera. Butir perbutirnya adalah makanan terlezat yang ada dalam kehidupan mereka. Fa subkhanallah yang menjadikan mereka berbahagia riuh ramai berpesta pora dengan tumpukan-tumpukan itu.
Walaupun mereka dan kehidupan mereka dijadikan symbol “dlo’ufath tholibu wal mathlub” toh mereka hanya menjalankan fitroh, mereka tetap makhluq yang mulia. Bahkan poin kemuliaan mereka lebih dari pada manusia, yang terkenal sebagai makhluk yang paling sempurna dengan hati dan akalnya, mereka tidak pernah saling bunuh, saling sikat, saling sikut sesama hanya untuk memperebutkan sebuah kotoran, hanya untuk menguasai seberapa tumpukan kotoran. Padahal jika disadari toh keduanya sama-sama suka, rindu dan berhasarat pada “kotoran”.
Suatu ketika lahirlah seekor lalat dalam kerajaan kotoran, begitu lahir tubuhnya langsung tersentuh benda-benda kotor, keluarganya langsung memperkenalkan padanya berbagai aroma dan rasa kotoran babi, kotoran kuda, kotoran manusia, dll. Ia langsung dihiasi dan disandangi dengan perhiasan dan pakaian kotoran dan dibangga-banggakan sebagai salah satu penerus keturunan salah satu marga lalat. Waktu terus berjalan dan tak terasa ia tumbuh dewasa. Tanpa terasa ia pun begitu akrab dan menikmatinya selayaknya masyarakat lalat yang lainya. Menari bernyanyi bersama dalam sorga kebersamaan dan kedamaian dalam kerajaan lalat, sungguh indah tanpa pertumpahan darah dan tanpa perebutan kursi kekuasaan.
Sampai suatu waktu, ketika bangun dari tidurnya ia bertanya pada dirinya, wahai lihatlah bukankah dunia itu begitu luas, begitu banyak yang tidak kau lihat, pahami dan mengerti dengan tubuh kecil mungilmu ini, tidakkah kau ingin melihat keindahan nyata dan keagungan benda-benda disekitarmu. Lalu apakah engkau ada hanya untuk melahap sebanyak-banyaknya tai ayam atau untuk menumpuk sebanyak banyaknya tai babi atau untuk berpesta dan berdansa diatas bangkai busuk atau untuk membangun kerajaan sampah yang pasti akan rata dengan tanah. Lama ia termenung, bertanya terus bertanya kepada kawan, tapi tak ia temukan jawaban hingga tak berselera makan, lalu ia memutuskan untuk melakukan perjalanan meninggalkan kampung halaman, pergi jauh membawa segenap harapan.
Sungguh perjalanan yang amat melelahkan, aral demi aral melintang, belahan demi belahan bumi terlewatkan, cobaan demi cobaan menghadang, jatuh bangun tapi tak putus asa, kadang ia menangis sesenggukan, waktu terus berjalan tapi tujuan belum kunjung datang. Hatinya terus merintih memohon belas kasihan, ia tahu bahwa tubuh mungilnya amatlah lemah untuk melakukan perjalanan itu, perjalanan agung kepada yang Agung, padahal tubuhnya hanya serupa dengan setitik debu. Subkhanallah.
Sayup-sayup ia mendengar musik indah yang berbunyi “Walladzina jahaduu fina lanahdiyannahum subulana..”. Musik itu begitu menggores hatinya walaupun dalam bahasa lalat ia tak mengetahui artinya. Ia terus berusaha mengikuti musik itu karena merdunya, akhirnya dalam waktu yang lama sang lalat tiba didekat pemain musik tersebut, di daerah yang bernama thusi. Di sebuah rumah ia melihat seorang manusia tua anak dari pemintal benang yang sedang menulis sebuah kitab yang berwarna keemasan, kitab itu sungguh indah dan sangat menakjubkan, memukau dan menyilaukan matanya, darahnya berdesir takjub merasakan sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya, melihat keindahan yang belum pernah ia lihat sebelumnya, membuat penderitaannya selama ini terasa hilang. Di sebelah penulis itu ia melihat benda cair yang sangat menggiurkannya, sangking tidak kuat menahan rasa haus dan laparnya selama ini, ia mendekati dan meminum tinta itu. Dan ia mabok, ia berektase, ia tak sadar serasa melayang-layang keawang-awang, melihat keindahan ma ainun ra at wa ma udzunun sami’at yang selama ini ia cari. Fasubkhanallah birakhmatih. Mungkin sang lalat tidak tahu kalau karena peristiwa itu ia telah mengangkat derajat sang penulis kitab. Sang lalat begitu bahagia menari dan bernyanyi bersenandung “Qola ya laita qoumy ya’lamuun bima ghofaroly robby waja’alany minal mukromiin”.
Kehidupan baru sang lalat telah dimulai, kebahagiaan abadi ketenangan jiwa, sorga sejati keindahan nyata menjelma dihari-harinya, untuk beberapa waktu ia menikmatinya.
Tapi masih ada yang membuat ia curiga siapakah misteri dibalik misteri, siapakah musabbibul asbab, siapakah dibalik siapa …
Untuk mengetahui yang sejati ia pergi ke penyair tua yang kondang namanya dengan kitabnya matsnawi. Disana ia diperkenalkan dengan Agama cinta, dengan Makna cinta, dengan Hakikat cinta, dengan Pemilik cinta, dengan Pembuat cinta.
Kali ini sang lalat tak selamat, ia terkena penyakit cinta, ia minum ektase cinta, ia berputar-putar, whirling triping dengan cinta, sambil bersenandung hu..hu…hu…huuu..hu…huu…
Terus berputar kencang yang telinga manusia mendengar lalat bunyinya nguung..nguung.. Fasubkhanallah bini’matih. Ihdinash shirathol mustaqim shirotolladzina an’amta ‘alaihim. Dengan cinta ia kembali melanjutkan perjalanannya menemui Syeikhul Akbar, semakin terang dan jelaslah kebahagiaan yang dijanjikan oleh Pemilik cinta, yang selama ini dibawa oleh al mubasyiruun.
Cinta berkata ..mari kemari.. datanglah padaku
Masuklah kedalam kerajaanku……sang lalat datang menghampiri
mengetuk pintu tok.. tok..
dari dalam rumah berkata itu siapa?
Ini aku.. jawab sang lalat
Dari dalam menjawab oo.. maaf tidak ada aku disini
Dan pintu itu tertutup
Sang lalat sedih dan pergi merantau selama setahun, merenung dan mengkhisab diri
Akhirnya sang lalat kembali ke kerajaan cinta
Tok.. tok.. tok.. ketuknya
Dari dalam terdengar suara.. itu siapa?
Ini engkau… ini…hu…
Dan pintu itu terbuka…
Allahu akbar la ilaha illa Hu…….
Apakah cerita ini berakhir…
Sebelum tubuh membumi, sebelum roh kembali sang lalat harus terus berjuang selalu, bersyahadah atas segala apa yang ia lihat, yang ia temui, yang ia rasakan adalah Hu…Tidak ada ha.. dan tidak ada hi…Subkhanallah birokhmatih biqudratih wairodatih, innadhukha addukhauka wal irodata irodatuka wal qudrota qudrotuka.
Wallahu a’lamu bimurodih
Allahumma ighfirlana fainnahu la yaghfirul khoto wadzunub illallah