BELAJAR DARI POHON PISANG
Oleh Hafizullah Ahyak
Pohon pisang menurut saya adalah pohon yang unik dan khas, setidak tidaknya karena beberapa hal sebagai berikut :
Pertama, ia hanya berbuah sekali seumur hidup. Pohon pisang akan mati setelah buahnya masak dan kita petik, maka sudah menjadi hukum panen pisang untuk sekaligus juga memanen pohonnya (gedhebok). Waktu saya kecil dulu, masa panen pisang berarti masa bermain di sungai karena gedheboknya difungsikan sebagai ‘gethek’ perahu kecil. Belakangan, di beberapa sudut industri rumahan di Pekalongan, gedhebok pisang dibudidayakan menjadi bahan baku kain yang tidak kalah mutu dan keunikannya dengan bahan baku sintetis lain bersanding dengan bahan baku alternatif seperti enceng gondok dan daun nanas.
Makna besar yang patut kita renungkan dari fenomena ini adalah bahwa pohon pisang tidak akan mati (belum akan mati, berusaha untuk tidak mati) sebelum memberikan karya terbaiknya kepada alam. Ia berkarya, menghasilkan sesuatu, berkreatifitas dengan daya pikir dan dzikirnya untuk memproduksi sebuah masterpiece yang tidak tertandingi. Sebuah mahakarya yang memberikan manfaat kepada alam. Inilah pelajaran pertama dari pohon pisang. Sebagai manusia yang dipersenjatai Tuhan berbagai kemampuan dan kedigdayaan, seharusnya kita bisa melakukan sesuatu lebih dari yang bisa dilakukan pohon pisang. Manusia memiliki otoritas atas dirinya sendiri untuk menentukan dan menetapkan pilihan. Ia diberi begitu banyak alternatif dalam kehidupannya untuk berkreasi, bukan hanya menyangkut alternatif tujuan tetapi juga menyangkut alternatif cara atau metodologi penempuhannya. Bukankah manusia makhluk yang terus berkembang dan bertumbuh ?. Ia mampu menyempurnakan penemuan penemuan terdahulunya menjadi lebih reliable, capable dan accountable.
Pohon pisang mengajarkan kepada kita untuk menghasilkan mahakarya sempurna –sesempurna mungkin, sebaik mungkin, seoptimal mungkin untuk akhirnya dapat dimanfaatkan sepenuhnya bagi kepentingan alam. Ia mengajarkan kepada kita untuk tidak egoistik individualistik –ananiyah, ia menuturkan prinsip kemaslahatan, sebuah fondasi dasar prinsip hidup bermasyarakat dan bersosialisasi. Kita diajak oleh pohon pisang untuk memberikan sesuatu yang bisa didayagunakan oleh lingkungan. Sesuatu yang mendatangkan manfaat.
Sesuatu yang mendatangkan manfaat itu tidak hanya terbatas pada hal hal yang sifatnya meteriil saja, melainkan juga menyangkut mental dan moral. Andai anda diberi kepercayaan oleh Tuhan untuk menjadi orang kaya (berlebih secara materi), anda diajari oleh pohon pisang untuk menyisihkan sebagian kekayaan anda dalam rangka membangun kemaslahatan lingkungan. Kalau jalan desa anda bolong bolong dan becek ketika hujan, maka ketika anda membeli aspal dan melicinkan jalan tersebut, insya Allah anda termasuk murid pohon pisang. Atau kalau di kota anda yang penuh sesak oleh panas kotornya debu industri tidak terdapat lembaga konsultan hukum ketenagakerjaan yang menegakkan prinsip prinsip keadilan atas dasar hukum yang disepakati bersama, lalu anda mendirikan lembaga itu terutama dalam kerangka membantu persoalan buruh pinggiran yang terdzalimi, maka anda juga insya Allah termasuk murid pohon pisang. Kalau anda seseorang yang memiliki harta yang hanya pas untuk diri dan keluarga anda, tetapi anda diberi karunia oleh Tuhan dengan kecerdasan dan wawasan, maka ketika anda menyebarkan kecerdasan itu kepada teman teman anda, insya Allah anda juga termasuk murid pohon pisang.
Kita dituntun oleh pohon pisang untuk menimbang segala aktifitas agar selalu dalam kerangka pemberian manfaat. Bukankah secara tekstual Tuhan menyatakan bahwa yang terbaik dari kita adalah yang paling banyak memberikan manfaat untuk lingkungannya. Sungguh, terhadap dua ayat tekstual dan kontekstual (qouliyah dan kauniyah) yang saling melengkapi ini, Tuhan ingin menunjukkan keseriusannya terhadap pentingnya prinsip kemaslahatan dan pemberian manfaat.
Kedua, pohon pisang meninggalkan bibit baru sebelum mati. Tengoklah pohon pisang yang sudah berbuah, disampingnya pasti ada tunas kecil yang tumbuh dan jumlahnya bisa lebih dari satu. Kembali pohon pisang memberi tahu betapa untuk menjaga kelangsungan hidupnya, ia menyiapkan kader kader.
Ini menunjukkan kepada kita arti penting kaderisasi, pelatihan dan pendidikan untuk menyiapkan dan menciptakan generasi unggul yang siap tempur, berani menempuh resiko dengan berpegang teguh pada prinsip prinsip sejati yang sifatnya transendental dalam menghadapi segala tantangan, gangguan dan hambatan dalam kehidupan. Sebab sudah menjadi sunnatullah, bahwa semakin modern peradaban manusia, maka akan semakin komplek pula permasalahan yang ditimbulkannya. Pohon pisang memberikan taushiyah kepada kita bahwa kejayaan pribadi dan kesalehan pribadi yang sifatnya individual lokal tidak akan memiliki dan menoreh nilai kesejarahan apapun sebab kemaslahatan hanya bisa dibentuk oleh kesalehan sosial universal yang mengikat masing masing pribadinya dengan kohesitifitas tinggi dalam kerangka fastabiqul khoirot.
Pohon pisang tidak rela apabila perjuangannya menghasilkan ‘sesuatu’ yang bernilai berhenti atau terhenti seiring dengan matinya jasad yang ringkih dan rapuh. Ia berkomitmen untuk terus menjaga perjuangannya dengan selalu menyiapkan bibit unggul berupa tunas tunas muda yang potensial. Ini juga mengajarkan kepada kita pentingnya pemuda dan remaja sebagai calon pengganti kita kelak. Adik adik kita, anak anak dan cucu cucu kita yang saat ini bergelut secara formal dengan sekolah adalah calon pemimpin yang apabila tidak kita sirami dengan nilai nilai yang baik dan benar akan menciptakan kerusakan kerusakan baru di masa depan. Maka, pohon pisang mengajarkan pentingnya pendidikan.
Pendidikan bukan hanya persoalan kesekolahan tetapi juga menyangkut pembentukan karakter, kepribadian dan akhlak menuju insan kamil. Karenanya, pendidikan juga harus dilakukan di institusi penting yang bernama keluarga. Sebagai institusi mikro yang bersinggungan langsung dengan masing masing individu, keluarga memiliki daya kontrol yang lebih kuat, daya didik yang lebih menusuk dan daya keteladanan yang lebih visual. Bagaimana sosok insan kamil ditampilkan, bagaimana uswatun khasanah divisualisasikan adalah fungsi fungsi dari institusi keluarga. Mengingat begitu sentralnya peran keluarga dalam proses penyiapan kader kader ini maka menjadi suatu keharusan bagi para stakeholdernya (orangtua –ibu dan bapak) untuk mengetahui dan mempraktekkan terlebih dahulu nilai nilai kebaikan dan kebijaksanaan yang akan dibekalkan kepada anak anaknya kelak, karena itu saya sering memberikan suatu ungkapan kepada kawan kawan saya yang akan menikah untuk belajar mendidik anak dari sebelum anak lahir dan bahkan dari sebelum janinnya terbentuk, artinya ia harus mendidik dirinya terlebih dahulu sebelum kelak mendoktrinkan nilai nilai tertentu kepada anaknya.
Ketiga, daun pohon pisang memberikan manfaat pelengkap. Di desa desa dan di kampung halaman kita, kita masih sering menjumpai daun pisang yang dijadikan bungkus nasi, misalnya. Ini mengajarkan kepada kita bahwa dalam keseharian dan aktifitas rutin kita, kita harus mampu memberikan pelayanan dan keteladanan mulai dari hal hal yag sifatnya kecil. Ada suatu ungkapan yang sangat tepat untuk menggambarkan betapa pentingnya hal hal kecil yaitu ‘untuk mencapai jarak jutaan kilometer harus dimulai langkah pertama’. Ya, sedikit demi sedikit menjadi bukit. Bagaimana mungkin kita akan melakukan satu hal besar apabila tidak kita mulai dari hal kecil ?.
Anda yang bergelut dengan dunia produksi massal pasti tahu persis bahwa untuk menghasilkan produk ratusan bahkan ribuan dalam waktu sehari harus dimulai dari menghasilkan satu produk setiap mesin dalam satuan waktu tertentu yang ditetapkan. Lalu, dari puluhan mesin yang dijalankan akan dapat dikalkulasi berapa ribu produk yang dapat dihasilkan per hari. Kesimpulannya, tidak mungkin hal besar dapat tercipta tanpa menciptakan hal kecil terlebih dahulu.
Bagaimana mungkin kita bercita cita menciptakan sesuatu yang fenomenal sementara sehari hari kita dilelapkan oleh kemalasan dan tertidur dalam buaian kemanjaan teknologi ?. Bagaimana mungkin kita akan menundukkan teknologi, menguasai dan menjadikannya alat bantu kita sementara sehari hari kita asik dibekapnya dalam kemudahan fasilitas dan kekanak kanakan akhlak ?.
Kalau anda ingin jadi murid pohon pisang, mulai sekarang tanamkan prinsip dalam diri anda untuk hanya melakukan hal hal yang menghasilkan manfaat baik kepada diri anda sendiri mapun kepada lingkungan anda. Ingat, petuah pak ustadz dulu bahwa salah satu ciri orang yang beriman adalah kecenderungannya untuk menjauhi hal hal yang melenakan dan tidak bermanfaat.
Keempat, bahkan setelah ‘wafat’, jasad (gedhebok) pohon pisang masih bisa didayagunakan untuk kepentingan peningkatan citarasa, budaya dan keluhuran martabat manusia. Bukti konkritnya adalah digunakannya pohon pisang sebagai bahan baku pakaian dengan nilai ekonomis yang tidak kalah bersaing dari bahan baku sintetis lainnya. Atau dalam kondisi paling ekstrem, ‘gedhebok’ pohon pisang selalu menjadi bahan baku utama untuk menancapkan wayang wayang dalam pertunjukan seni yang sarat dengan makna dan hikmah kebijaksanaan.
Sungguh, pohon pisang mengajarkan begitu banyak hal kepada kita tentang kehidupan. Ia, dengan kebisuannya, mengajak manusia untuk memerdekakan dirinya lebih merdeka lagi dengan memenjarakan cinta dan pengabdian hanya kepada Dzat Yang Maha Mencintai, Allah SWT.
Kamis, 20 September 2007
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar