PERNIKAHAN
Oleh Hafizullah Ahyak
Nikah adalah prosesi yang sangat istimewa setidak tidaknya karena beberapa hal seperti dibawah ini :
Pertama, prosesi nikah merupakan lambang kedewasaan berpikir dan juga (semoga) kedewasaan bertindak. Dewasa karena orang yang sepakat untuk menikah sebenarnya mengetahui secara persis bahwa pasangannya memiliki kelebihan kelebihan tertentu yang tidak ia miliki sekaligus kekurangan kekurangan tertentu yang suatu saat mungkin menimbulkan konflik. Dewasa juga karena orang yang sepakat untuk menikah menyiapkan diri untuk membatasi segala kesenangan dan kegemarannya dengan kesenangan dan kegemaran pasangannya, mengetahui bahwa mungkin ada beberapa kebiasaan yang kurang berkenan di hati pasangannya sehingga mau tidak mau ia harus memodifikasi, merubah atau mengganti kebiasaannya itu. Tanda kedewasaan lainnya orang yang sepakat untuk menikah adalah pada kesepakatan untuk menempatkan segala perbedaan dalam satu bingkai harmonisasi dan keselarasaan. Perbedaan ditempatkan dalam posisi sebagai energi pendorong bukan sebagai energi pemecah dan penghancur. Perbedaan menjadi sinergi yang menyeimbangkan, menumbuhkembangkan dan memupuk cintakasih tulus yang tak terukur.
Kedua, setiap orang yang sepakat untuk menikah biasanya meniatkan (secara kuat dan bulat) untuk menjadikan prosesi nikahnya sebagai yang pertama dan yang terakhir. Jarang jarang ditemukan secara terbuka, seorang pasangan yang berniat untuk kembali melakukan prosesi pernikahan kedua atau ketiga kalinya pada saat prosesi nikahnya yang pertama. Sebagai event yang diniatkan sekali seumur hidup, tentu segala persiapan dan tetek bengek disiagakan sesempurna mungkin. Kerabat kerabat jauh yang terputus silaturakhminya, rekan rekan kerja dan atasan, kawan kawan lama yang berpuluh puluh tahun tidak berjumpa, orangtua dan saudara, sesepuh dan guru, penasehat spiritual dan penasehat nonspiritual, semuanya diundang untuk menyaksikan suatu peristiwa penting yang tidak bakal terlupakan seumur hidup. Sistem dokumentasipun dirancang sedemikian canggih dan langsung, tidak hanya sekedar gambar gambar bisu yang lapuk oleh waktu, maka disediakan video shooting dengan kamera beresolusi tinggi dan jernih, media penyimpanannya pun dibuat berangkap rangkap, tidak cukup dengan VCD atau DVD tetapi perlu pula diback-up dengan hard disk, flash disk dan yang semacamnya. Semuanya dalam kerangka peristiwa ini hanya terjadi sekali seumur hidup (setidaknya itulah yang diniatkan pada saat itu).
Ketiga, prosesi nikah adalah proses perjanjian (‘aqad). Setiap pasangan yang menikah mengingatkan dirinya satu sama lain. Proses pengikatan ini menyebabkan sifat kepemilikan antar keduanya, yang satu memiliki yang lain. Sedang proses kepemilikan menyebabkan timbulnya hak dan kewajiban. Itulah sebabnya prosesi nikah disebut juga proses perjanjian, bukan sekedar kesepakatan. Perjanjian menuntut pelunasan dan pelaksanaan, maka orang yang menikah wajib menunaikan hak pasangannya dengan sempurna, bukankah janji adalah hutang ?. Pentingnya prosesi nikah ditinjau dari sifatnya sebagai perjanjian ini ditegaskan oleh semua agama, maka pernikahan biasanya disebut dengan pertalian suci. Dalam agama Kristen, sebelum pendeta mengikatkan kedua pasangan, masing masing pasangan ditanyakan kesediaannya untuk saling mengikatkan diri serta tidak lupa pendeta menanyakan apakah diantara yang hadir ada yang berkeberatan terhadap ikatan itu. Ini menunjukkan bahwa konsekuensi sebuah perjanjian tidak hanya menyangkut kedua pasangan yang mengikatkan diri tetapi juga terhadap keluarganya yang lain. Dalam islam, untuk melindungi perjanjian ini, seorang suami harus menandatangani taklik talak yang berisi batas batas yang tidak boleh ia langgar. Apabila ia melanggar batas batas itu, maka secara otomatis putuslah perjanjian itu, lepaslah ikatan keduanya sehingga satu dengan yang lainnya tidak memiliki kewajiban dan hak lagi. Ini juga menunjukkan betapa sebenarnya sangat berat konsekuensi dari prosesi ini yang bila diperlakukan secara serampangan dan sembarangan, bisa mengakibatkan kerugian (materil dan immateril) pada salah satu pihak.
Keempat, prosesi nikah adalah lambang kesempurnaan hidup. Setiap manusia pada dasarnya diciptakan oleh Tuhan untuk saling mencintai dan mengasihi satu sama lain. Perasaan cinta kasih ini akan tersalurkan secara benar dan baik melalui prosesi nikah. Prosesi nikah menempatkan laki laki sebagai manusia yang penuh tanggungjawab dan kesadaran dengan menjadikan perempuan sebagai kekuatan yang dipercayai mampu meneruskan garis keturunannya, dan bahkan menjadikan perempuan sebagai pertnernya dalam mengarungi setiap tumpukan persoalan hidup yang tidak pernah berkurang dan berhenti. Tugas dan fungsi pelangsung keturunan inilah yang terutama menjadikan pernikahan sebagai lambang kesempurnaan hidup. Dalam ungkapan jawa yang sangat elegan, kita sering mendengar orang yang yang sudah (baru) menikah sebagai ‘wong sing wis mentas’ –orang yang sudah paripurna. Ini mengisyaratkan bahwa pernikahan mendorong orang untuk terus menancapkan sejarah hidupnya sepanjang jaman. Sejarah hidupnya akan diteruskan oleh anak anaknya dan begitu seterusnya. Bukankah anak sering kita definisikan sebagai harta yang tak ternilai, ingat !, cerita tentang seorang kaya yang anaknya meninggal karena narkoba karena kesibukan kerja kedua orangtuanya sehingga ia tidak terlimpahi kasih sayang lalu timbullah penyesalan yang begitu mendalam dari orangtuanya ?.
Diatas semuanya, prosesi nikah sejatinya memanusiakan manusia sebagai sesejati sejatinya manusia. Dengan pernikahan, manusia mampu membedakan dirinya dari makhluk bumi lainnya. Perbedaan perbedaan itu antara lain :
Pertama, pernikahan adalah prosesi budaya. Cobalah anda datang ke Samarinda atau Padang, lalu setelah itu anda datang ke Yogya atau Solo. Anda akan menemukan bahwa setiap daerah memiliki tatacara dan adat istiadat tertentu untuk melaksanakan prosesi pernikahan. Kalau anda orang Jawa, anda pasti mengenal istilah pingit untuk calon mempelai wanita. Pingit adalah suatu kurun waktu tertentu yang mengharuskan mempelai wanita untuk tidak keluar rumah. Ini mempunyai makna yang sungguh sangat mendalam. Sebelum prosesi nikah, mempelai wanita diharuskan bertafakkur, merenung, mengevaluasi diri dan menyiapkan diri secara lahir dan batin agar dalam melayani suaminya kelak ia dapat melakukannya sebaik mungkin dengan penuh keikhlasan dan keridhoan. Lalu, anda juga menemukan tatacara tertentu di setiap daerah pada saat prosesi nikah. Ada melempar bunga, menginjak telur, memutari api suci dengan selendang yang tersambung kalau di India, dan segudang tatacara suci lainnya. Semuanya dengan jelas dan tegas menunjukkan bahwa pernikahan adalah prosesi budaya yang menunjukkan martabat dan ketinggian budi pekerti dan moral manusia. Mari kita bandingkan dengan kuda misalnya. Apakah anda pernah menemui kuda yang melakukan ritus ritus tertentu atas inisiatifnya sendiri sebelum ia mengawini betinanya. Kuda tidak perlu melakukan ritus ritus sebab ia tidak mengenal budaya. Kuda cukup memberikan isyarat isyarat tertentu berupa ringkikan atau yang lainnya untuk menarik sang betina lalu mereka kawin.
Kedua, prosesi nikah adalah pintu untuk membangun sebuah institusi adiluhur yang bernama keluarga. Salah satu perbedaan penting manusia dengan makhluk lainnya adalah institusi adiluhur ini. Keluarga merupakan wahana pendidikan dan pelatihan pertama sebelum manusia menempuh pendidikan dan pelatihan lainnya. Orangtua menjadi pendidik pertama bagi anak anaknya sebelum orang lain memberikan nilai nilai baru. Pentingnya peran pembentukan karakter, kepribadian dan akhlak ini tidak bisa digantikan oleh institusi lain selain keluarga. Institusi lain hanya bersifat komplementer (melengkapi), bukan utama. Hanya institusi keluarga yang mampu membentuk dan mendoktrinkan nilai nilai kebaikan dan kebajikan, kebijakan dan hikmah. Fungsinya yang bersifat inside-out mengharuskan konsentrasi penuh dari seluruh stakeholdernya. Keluarga bukan hanya tempat pelarian dari segudang masalah yang dijejalkan dunia kepada kita. Keluarga adalah tempat diskusi, penebar solusi dan penumbuh semangat perjuangan dan pengorbanan, sungguh fugsinya begitu utama. Sekarang bandingkan dengan ayam, pernahkah anda menjumpai suatu keluarga ayam dimana bapaknya mendidik anaknya nilai nilai perjuangan, bahkan nilai pun mereka tidak punya.
Ketiga, pernikahan meninggikan derajat manusia. Pernikahan memposisikan manusia bukan semata sebagai alat atau obyek tetapi lebih sebagai subyek, mendorongnya menciptakan hubungan yang setaraf sederajat, sepadu sepadan, berdiri sama tinggi duduk sama rendah. Bukti konkritnya adalah bahwa sebagian besar manusia masih bersepakat hinanya profesi penjaja seks (WTS). Mengapa demikian ?. Sebab, penjaja seks merendahkan manusia hanya sebagai alat pemuas nafsu, tools yang bersifat ekonomis yang dapat dinilai dengan satuan satuan tertentu yang sifatnya kalkulatif kuantitatif. Manusia direndahkan dan merendahkan derajatnya sendiri sebagai budak syahwat dan pelampiasan kebutuhan biologis semata yang sifatnya sangat ragawi. Lalu, mari bandingkan dengan binatang. Binatang dengan seenaknya saja melampiaskan syahwatnya bahkan kepada induknya sendiri, tanpa perlu pamit permisi apalagi menikah. Jadi, ketika manusia melakukan pengingkaran pernikahan sebagai satu satunya jalan untuk menempuh jalan persetubuhan, sungguh ia benar benar merendahkan dan menghinakan dirinya sendiri bahkan lebih rendah dan hina dari binatang.
Jadi, dapat kita simpulkan betapa mulianya prosesi pernikahan di mata kemanusiaan. Pernikahan menempatkan kita sebagai individu individu yang pantas merdeka, berkembang, berkarya, melakukan perubahan dan perbaikan serta berbudaya. Sekarang tinggal kita memaknai pernikahan kita, apakah hanya sekedar sebagai alat atau sarana pelampiasan kebutuhan biologis atau tersimpan niat kuat untuk menunjukkan nilai nilai kemanusiaan.
Semoga kita dihindarkan dari pernikahan dengan motif motif yang merendahkan seperti motif ekonomi atau motif motif matematis lainnya. Amin
Kamis, 20 September 2007
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar