PELAJARAN KEHIDUPAN
Oleh Hafizullah Ahyak
Sesekali coba tengoklah sekeliling kita. Anda yang saat ini dianugerahi Tuhan kekuasaan dan kelebihan materi, tengoklah kepada saudara anda yang diuji Tuhan dengan kelemahan dan serba kekurangan. Anda yang saat ini dianugerahi Tuhan fasilitas hidup dan serba kemewahan, tengoklah saudara anda yang dirundung duka nestapa dan kemelaratan. Anda yang dipercayai Tuhan untuk mengelola sehat pribadi dengan vitalitas prima, tengoklah saudara anda yang tergolek lemah di rumah sakit atau tempat tempat nonformal lainnya karena beberapa alasan ekonomi yang tidak bisa ditolak dan dihindari.
Fungsi saling menengok ini perlu kita lakukan agar hati kita tidak menjadi keras sekeras batu dan bahkan lebih keras lagi. Kita perlu membuka sedikit egoisme dan kejumudan pola pikir kita dengan melihat realita disekeliling kita, sesuatu yang pasti terjadi sebagai konsekuensi prinsip prinsip keseimbangan alam. Realitas akan mengajarkan banyak hal dengan kebisuannya, ia berbicara lebih keras dari pembicara kondang manapun, ia memotivasi lebih dalam dan tegas dari motivator ulung manapun, asalkan hati kita tidak terlanjur membatu, bisu, buta dan tuli dari nilai nilai kebijakan dan hikmah. Kalau anda masih juga bersikeras dengan keyakinan anda bahwa memang sebagian manusia perlu direndahkan agar ada sebagian yang lainnya –seperti Anda menduduki posisi lebih tinggi dan meng’atasi’, maka saya pikir Anda perlu membedah dada anda dan bertanya kepada hati yang terdalam, siapakah sebenarnya anda, setan atau iblis ?.
Perjalanan hidup semua manusia sungguh akan terus tunduk dan patuh pada hukum alam, ya, nilai nilai tertentu yang mengatur kita secara alami dan apa adanya. Salah satu wujud konkritnya adalah bahwa kita tidak akan terus menerus hidup dalam kesehatan dan vitalitas pribadi yang prima dan maksima. Sesekali sakit akan mengunjungi kesombongan kita dan berkata, ‘Hai, jiwa yang sombong, coba tundukkan aku jika kau memang benar benar makhluk terhebat, katakan tidak untuk kehadiranku, tutup pintu rumahmu jika kau benar benar berkuasa’.
Makhluk yang bernama sakit akan meledek kita dengan kebisuannya yang menguasai dan memaksa, menghinakan sikap angkuh kita yang selalu bangga dengan produktifitas yang telah dicapai, prestasi prestasi istimewa yang tidak semua manusia mampu merengkuhnya dan sederet penghargaan atas torehan torehan sejarah kehidupan yang menyilaukan. Sakit tidak pernah secara lisan menuntun kita untuk sedikit lebih tawadhu, ia dengan ketawadhuannya cukup menyalami dan merangkul jasad yang kerdil dengan kasih sayangnya. Saat itu, andai kita bukan setan atau iblis, pasti ada cakrawala baru yang kita saksikan –bukan sekedar dilihat tetapi juga dialami dan dirasakan. Sebuah cakrawala yang mencerahkan, menyinari melintas batas matahari menyinari kita di sepanjang kehidupan. Apalagi bila makhluk yang bernama sakit ini termasuk salah satu spesies langka yang menyandang gelar ‘waliyullah’ semacam kanker, tumor, Anthrax dan Aids.
Itulah jawaban dari pertanyaan besar mengapa setan dan iblis tunduk dalam kesombongannya, bangga dengan kehebatan dan keunggulannya ?. Ya, sebab setan dan iblis tidak pernah diajak bercengkrama dan berkasih mesra dengan makhluk yang bernama sakit. Setan dan iblis dianugerahi (diuji dengan sesuatu yang melenakan) oleh Tuhan dengan vitalitas kesempurnaan, ia luput dari sakit dan mati, hidup abadi dengan satu visi, misi dan aksi, menggelincirkan manusia dari jalan Tuhan dengan berbagai cara dan upaya. Na’udzu billah. Kekuatan sempurna setan dan iblis ini yang membuatnya bangga menolak perintah Tuhan dengan berkata, ‘bukankah aku lebih mulya darinya (Adam), aku diciptakan dari api sementara ia diciptakan dari tanah’. Lalu, makhluk apalagikah kita seandainya setelah kita didatangi, dijenguk, dicengkramai, diajak bercumbu dan bergelut bergulat dengan makhluk yang bernama sakit dan kita masih tetap larut dalam kecongkakan dan kesombongan selain bukan setan dan iblis namanya, bahkan yang lebih hina dari itu ?.
Bukti lain yang sangat kasat mata adalah bahwa kita tidak akan terus menerus dilimpahi kekuasaan dan wewenang selama hidup kita. Tengoklah sejarah hidup ‘orang orang besar’. Tidak perlu menengok ke tetangga tetangga kita di Malaysia, atau jauh ke benua Eropa sana, cukup tengok mantan mantan penguasa negeri ini. Soekarno lapuk oleh doktrinnya sendiri yang menuntun rakyat untuk menobatkannya sebagai Presiden Seumur Hidup, Panglima Tertinggi, Pemimpin Besar Revolusi. Soeharto hancur oleh imaginasi yang dibangunnya berpuluh puluh tahun, sebuah imperium baru dengan ia sebagai Raja Besar yang menguasai segalanya. Lalu, berapa banyak mantan mantan bos besar yang menguasai aset triliunan rupiah dan sekarang mendekam di Nusakambangan, mari kita lihat pentas sejarah Bob Hasan, atau Marimutu Manimaren yang lebih memilih bunuh diri dengan cara yang betul betul tragis.
Semuanya mengajarkan betapa tidak berdayanya kita menghadapi sunnatullah, hukum alam yang apa adanya. Pelajaran pelajaran faktual semacam ini seharusnya membuat hati kita lebih terbuka terhadap hukum Tuhan yang adil, transparan dan tidak memihak. Hukum Tuhan yang secara tekstual menyuruh untuk saling berbagi, berkasih mesra dengan kesederhanaan dan kebersahajaan, saling menolong, menghargai manusia sebagai makhluk suci yang dijamin kesempurnaan sistem dan model ciptaannya. Bukankah Nabi mengajarkan satu prinsip kemuliaan manusia dengan sabdanya yang sangat elegan, ‘Menolong satu manusia sama nilainya dengan menolong seluruh umat manusia, membunuh satu manusia sama nilainya dengan membunuh semua manusia’. Sungguh, pelajaran pelajaran tekstual semacam ini rupanya tidak cukup membuka mata batin kita akan ketidakberdayaan diri menghadapi keMahaBerdayaan Tuhan, maka Tuhan selalu –dengan kasih sayangNya yang tidak terhingga dan tanpa pamrih- mengajari dan menuntun manusia dengan buaian buaian fenomenal faktual aktual keseharian yang begitu kasat mata dan jelas tegas. Pertanyaannya kemudian adalah apakah kita mau belajar –membaca, iqra ?.
Anda yang saat ini dianugerahi Tuhan dengan kekuasaan dan kelebihan materi, sekali kali anda perlu berbelanja ke WTC Mall Serpong, saat itu anda akan melewati jalan dimana industri –dengan segala pernak perniknya tumbuh subur. Lewatlah jalan itu antara pukul 15.00 sampai 18.00 sore. Anda akan melihat betapa banyak buruh yang dengan tetes keringatnya mempertahankan diri dari himpitan himpitan globalisasi yang menggilas. Anda akan melihat, betapa banyak buruh perempuan yang hamil, berkeringat, lusuh dan kusut masai dengan ketegaran dan semangat perjuangan, menyelesaikan setiap pekerjaannya dengan wajah ceria dan optimis. Bayangkan, seandainya buruh itu –hamil tua dengan segala resikonya, adalah anak atau istri anda.
Renungkan dalam dalam dan cerna pelajaran Tuhan dari realita semacam ini. Anda yang bukan setan dan iblis pasti berkata, ‘Oh, sungguh betapa sempurna Engkau Tuhanku, sebab Kau ciptakan manusia dalam kesempurnaan untuk saling mengisi dan melengkapi, seandainya tidak Kau ciptakan buruh buruh itu dengan semangatnya yang menggelora dan terus membara untuk menapaki jalan jalan terjal kehidupan, tentu Kau tidak akan melimpahiku dengan kekuasaan dan fasilitas ekstra yang tidak semua manusia bisa mencicipi dan merasakannya’. Sekali lagi, keyakinan semacam ini akan timbul apabila anda bukan setan atau iblis. Tidak lebih dan tidak kurang.
Gambaran lebih nyata lagi dari ketegasan hukum alam adalah bahwa suatu saat kita pasti akan mati. Ya, melepas semua hal yang berkaitan dengan sifat kepemilikan, segala hal yang mengikat anda dengan buaian yang melenakan semacam gelar, penghargaan, label, person image dan tetek bengek lainnya akan ditinggal dan meninggalkan manusia dalam kesendirian.
Syaikh Akbar Hisyam Kabbani menegaskan, ‘mati adalah jalan utama menuju kasih sayang Tuhan yang membuka kebijaksanaan dan hijab rahasia rahasia. Tidak akan terbuka mata batin seseorang sebelum ia secara fisik jasadi mengalami mati’. Nabi kita yang agung mengingatkan’ ‘Matilah engkau sebelum engkau mati’. Dua pelajaran tekstual ini memaksa kita mengakui kekuatan mati dan kewenangannya yang tak terhingga atas jasad kita yang ringkih.
Pernahkah anda mendengar adanya negoisasi antara manusia dengan Malaikat Pencabut Nyawa untuk mengundurkan sedikit waktunya dan sang Malaikat memberikan sedikit kelonggaran ?. Sungguh, mati tidak mengenal istilah dispensasi meskipun hanya sedetik. Ia datang karena memang sudah seharusnya dan demikian adanya, tidak mengenal kompromi dan basa basi. Tuhan menggedor kita dengan peringatan-Nya yang ganas, ‘Apabila kematian telah datang, takkan dapat diundurkan atau dimajukan waktunya’.
Mati memberikan taushiyyah utamanya bahwa pemilik segala sesuatu sejatinya adalah Dzat Yang Menciptakan sesuatu itu, yang membuat dari tidak ada menjadi ada lalu menumbuhkembang-kannya. Manusia sebagai wasilah kreatifitas Tuhan hanya dititipi sebagian wewenangnya untuk memodifikasi dan menyelesaikan tugas tugas rutin yang enteng dan ringan.
Andai manusia betul betul memiliki sesuatu, suruhlah ia menciptakan bakteri bakteri yang menguraikan kotorannya yang dibuang melalui WC-nya yang mewah. Atau, suruhlah ia untuk menciptakan sistem dan mekanisme pencernaan dalam perutnya yang gendut, memisahkan saripati makanan untuk diubah menjadi tenaga dan membuang ampasnya melalui saluran yang tepat. Atau, suruhlah ia untuk menempelkan sel spermanya ke sel ovum dan menjaganya agar tetap tumbuh menjadi seorang anak. Pergerakan sperma ke ovum, kotoran yang diurai bakteri dan mekanisme pencernaan adalah bukti ciptaan Tuhan dan sifat kepemilikannya atas diri manusia. Tuhanlah yang mengatur kapan salah satu sel sperma harus menempel ke sel ovum, kemana kotoran yang telah terurai harus ditempatkan dan bagaimana sistem pemisahan saripati makanan dari ampasnya harus dilakukan.
Ternyata, hal hal internal yang begitu dekat dengan diri manusia dan seolah olah tunduk dalam kekuasaannya saja menunjukkan kekuasaan, kewenangan dan sifat kepemilikan Tuhan, lalu bagaimana dengan hal hal lain yang eksternal di luar diri manusia ?
Puncak dari segala puncak ketidakberdayaan manusia ditunjukkan oleh the power of death. Yaitu, saat dimana sebenarnya manusia hanya membutuhkan kurang lebih 2 x 1 meter tanah dengan pakaian yang cukup menutup badannya saja. Segala sesuatu yang menghiasinya dengan kemegahan dan kemewahan di dunia akan pamit secara rapi dan teratur seiring dengan berlalunya para pelayat dari makamnya yang sunyi, bahkan juga anak dan istri.
Jadi dapat disimpulkan bahwa kesadaran kita untuk menengok saudara kita yang lain seharusnya mampu membuat kita lebih waspada, hati hati dan bijaksana dalam menjalani kehidupan. Manusia yang selalu peka lingkungan, tanggap waskita alam dan tajam cerah mata batinnya selalu berusaha menempatkan dirinya sebagai manusia yang beradab dengan segala sifat sifat kemanusiaannya yang luhur. Ia akan menjaga harmonisasi dengan menempatkan manusia lain sebagai partner, mitra, kawan dan saudara yang memiliki kedudukan yang setaraf sederajat, berat sama dipikul ringan sama dijinjing. Ia akan sadar bahwa dengan manusia lain ia tidak memiliki keunggulan dan kelebihan apapun selain karena tindak tanduk dan polah tingkahnya. Ia menghargai manusia sebagai makhluk yang diberi sedikit kewenangan dari Tuhan untuk berkreasi dan berkarya, karenanya ia akan menumbuhkembangkan sikap saling mengisi dan saling melengkapi dengan semangat persaudaraan yang paling asasi. Insya Allah.
Kamis, 20 September 2007
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar