SLILIT
Oleh Hafizullah Ahyak
Hati hati bicara soal slilit, sebab meskipun kecil tetapi amat menyakitkan, terutama apabila gigi kita yang sudah bolong itu dihinggapi virus alias kuman dan kemudian beranak pinak di sana. Bicara mengenai slilit, saya jadi teringat sebuah artikel yang ditulis oleh Cak Nun, seorang budayawan gila yang terus menerus berusaha menggali makna kehidupan yang cenderung ruwet ini. Dalam artikel itu diceritakan bahwa betapa gara gara slilit yang sepele itu, seorang kyai yang sudah terbukti dan teruji kesalehan spiritual individual dan sosialnya tertahan di pintu masuk Jannah an Na’im. Perkaranya kelihatan begitu sepele, bahwa suatu malam sepulangnya dari kondangan di rumah warga yang memang di hidangkan berbagai macam makanan, pak kyai ketiban slilit yang menggelisahkan giginya, maka secara tak sadar pak kyai sambil pulang ke rumahnya memetik dahan tanaman pagar salah seorang warga seukuran batang korek api. Nah, tanaman pagar yang seukuran batang korek api ini lah yang mencegah pak kyai masuk ke surga. Sang tanaman mempermasalahkan pak kyai yang menghabisi hak hidupnya tanpa seijin yang empunya. Maka berdasarkan hukuman keadilan Tuhan, malaikat memutuskan untuk membersihkan slilit dosa pak kyai sebentar di neraka. Hikmah apa yang dapat kita ambil dari penggalan cerita ini ?.
Yang pertama, perkara yang kita anggap sepele sering merupakan sebuah perkara besar oleh pengadilan Tuhan. Seandainya gara gara sedikit ucapan kita tentang perusahaan yang menjelang bangkrut misalnya, padahal sebenarnya tidak, dan kemudian gara gara ucapan kita itu semangat ikhlas rekan rekan kita yang bekerja mencari nafkah untuk menghidupi dirinya dan keluarganya sebagai bagian dari sunnatullah berkurang dan bahkan menghilang, lalu yang muncul kemudian adalah sifat putus asa dan suudh dhonn (berburuk sangka), maka hitungan dosa diukur berdasarkan deret ukur (berkelipatan), yaitu sejumlah nilai kemudharatan yang kita timbulkan akibat ucapan kita itu (allahu a’lam). Idiom kita yang saya gunakan diatas bisa berarti siapa saja, lho. Kita itu bisa berarti karyawan (laki / perempuan), pengusaha (korea, setengah korea, pribumi maupun setengah pribumi) dan juga pengurus serikat pekerja.
Yang kedua, bahwa hak orang lain yang notabene menjadi kewenangannya harus diberikan dengan pas dan adil. Pas dalam artian sejumlah hak itu, adil dalam artian sesuai dengan nilai hak miliknya. Maka seandainya kita sebagai pekerja telah dipenuhi hak haknya oleh pengusaha dan kita tidak memberikan hak yang wajib diterima oleh pengusaha, itu lah slilit yang harus kita bersihkan agar kita bisa leading enjoyly ke jannah an na’im. Begitupun sebaliknya, seandainya kita sebagai pekerja telah bekerja dengan giat sekuat tenaga dan kemampuan, lalu ada hak hak kita yang dipecundangi oleh yang punya pabrik, maka itu juga slilit yang akan menghambatnya memperoleh kenikmatan sejati abadi. Atau seandainya kita menjadi atasan yang membawahi beberapa / banyak bawahan, lalu kita berbuat semena mena terhadap bawahan kita sesuai kehendak nafsu kita, maka berdoalah agar bawahan yang kita sewenang wenangi itu tidak sakit hatinya sehingga tidak ridho atas apa yang kita perbuat. Sebab andaikata sang bawahan tidak ridho, itu akan menjadi slilit yang bisa jadi mempersulit kita bertemu Sang Pencipta di alam kesejahteraan nanti. Sebaliknya sebagai bawahan, apabila kita selalu membuat sakit hati atasan kita dengan cara cara yang dzalim, itu juga slilit yang menyulitkan. Barangkali pertanyaan yang pantas diajukan dalam konteks ini adalah bagaimana caranya kita tahu bahwa kita berbuat sesuatu dengan adil atau tidak, memberikan hak orang lain sesuai nilainya atau tidak?. Dalam konteks antara pengusaha dengan pekerja, yang bisa dijadikan patokan adalah aturan normative yang melandasi hubungan industrial yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Dalam konteks atasan dan bawahan, hal pokok yang bisa dijadikan patokan adalah job desciption (pembagian kerja). Meskipun demikian dalam hal hal tertentu yang sifatnya darurat, pertimbangan efek manfaat dan nilai maslahat yang diambil oleh lebih banyak orang menjadi alasan utama dalam menetapkan suatu keadilan (allahu a’lam).
Yang ketiga, bahwa sebagai manusia yang dikaruniai Tuhan akal dan logika serta hati, kita harus selalu mampu mengambil hikmah atau pelajaran dari seluruh kejadian yang menimpa kita dan lingkungan kita. Hikmah itu yang nantinya dapat kita jadikan pedoman nilai, tolok ukur tata laku, penunjuk akhlak dan penjelas qiyas dari persoalan persoalan yang melilit hidup kita. Seandainya kita selalu mampu melakukan hal itu, niscaya hidup kita tidak akan sempit meski kita sering kehabisan uang belanja setiap tanggal 15, meski kita tinggal di kontrakan seukuran 3x4 meter.
Kamis, 20 September 2007
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar