Selasa, 25 September 2007

SHALAT KHUSYU


SHALAT KHUSYU
Oleh Havidz al Abrozzy
Di suatu jamaah tarawih yang sangat berbarakah di rumah Guru Kami yang Mulya Syaikh Irfan Ba'alawiy, pada rakaat rakaat terakhir tarawih, ketika imam sedang membaca surat al-fatihah, telinga saya mendengar bunyi gelas dan mangkok menuju belakang shaf jamaah, saya langsung mafhum bahwa itu adalah 'sekedar' makanan yang disediakan oleh khadam guru kami untuk para jamaah tarawih. Dalam lintasan pemahaman terhadap bunyi gelas dan mangkok itu, tiba tiba sang khadam menghampiri saya dan membisikkan sesuatu ke telinga saya, -waktu itu posisi saya masih dalam keadaan shalat-, "mas, tolong nanti kalau sudah selesai tarawihnya, tuangkan es ini ke gelas, saya mau pergi dulu".
Saya tersentak dan tersadar, masya Allah, begitu lintasan tentang gelas dan mangkok muncul dalam hati, rupanya Beliau langsung menjawab lintasan itu dengan jewerannya yang khas. Selepas kejadian itu, hati saya langsung berantakan dan shalat yang memang sudah dari awal tidak 'fokus' menjadi semakin tidak 'fokus'.
Hari hari pertama ramadhan, guru kami memang menekankan betapa pentingnya menjadikan shalat sebagai mi'raj melalui prosesi awal yang bernama khusyu. Dan saya pribadi merasakan bahwa rupanya sekejap khusyu yang bisa dicapai dalam rangkaian shalat adalah keluarbiasaan dan anugerah yang harus disyukuri.
Dalam berbagai latihan shalat untuk mencapai khusyu, terbukti bahwa hati kita, -atau apapun yang ada di dalam kita- lebih banyak terisi dengan hal hal duniawi. Hal hal keseharian yang semestinya ketika takbiratul ihram dikumandangkan sudah harus disingkirkan jauh jauh bahkan harus sudah terlupa, langsung berhamburan menuju harddrive memory otak kita dan berjejalan berebut keluar untuk show of force. Sangat menakjubkan pola tantangan yang dibikin oleh-Nya. Ibarat sebuah virus yang tertanam dalam suatu harddisk, ketika computer mulai loading, virus secara otomatis langsung on dan menjala file file penting untuk di-crash.
Menjadi mengherankan bagi saya pribadi dan oleh saya pribadi, bahwa saya lebih menyukai memelihara virus virus itu dan sangat enggan untuk mengkarantinakannya, -apalagi membuangnya jauh jauh- dan sungguh lebih mengherankan lagi, bahwa saya menyadari adanya perangkat antivirus semacam Norton yang sudah terinstal dengan rapi dalam computer besar pribadi saya. Dalam kesadaran seperti ketika saya sedang menulis esai ini, timbul pertanyaan dalam hati, makhluk sehebat apa yang begitu kuat mencengkeram pola hidup kita ?.
Mendefinisikan shalat khusyu bagi orang seperti saya yang belum pernah bisa mencapai tahapan khusyu, tentu sangatlah sulit dan sangatlah tidak masuk akal untuk dapat dijadikan pelajaran. Yang ingin saya ceritakan berikut ini adalah juga pengalaman tidak 'fokus' ketika shalat.
Pada suatu shubuh yang indah, setelah menenggelamkan diri dalam keterlenaan tidur panjang yang nikmat, saya bergegas menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Karena memang saya tinggal di sebuah rumah kontrak yang airnya digunakan ramai ramai oleh seluruh penghuni, maka saya mesti menyalakan pompa air terlebih dahulu. Selepas wudhu, saya langsung mematikan pompa air dan bergegas menunaikan shalat shubuh.
Ketika takbiratul ihram dilakukan, dari dalam diri saya tiba tiba muncul lintasan pertanyaan, 'mas, kran airnya sudah ditutup belum, ya?'. Masya Allah, sungguh luar biasa system virus yang berjalan di dalam diri. Seketika saya batalkan shalat dan saya cek kran air. Ini adalah sepenggal contoh ketidakfokusan dalam keseharian shalat saya.
Dalam nasehatnya yang begitu indah, guru kami menganjurkan untuk meminimalisir hal hal eksternal yang bisa mengganggu prosesi 'ketidakfokusan' shalat. Semisal, makanan harus tersimpan rapi di dalam lemari, agar nanti kalau pada saat shalat ada kucing yang masuk, pikiran tidak tertuju kepada makanan. Atau tentang kran air yang harus dipastikan tertutup seperti kisah saya tadi, atau pintu dapur yang harus ditutup, atau kompor yang harus dipastikan dalam keadaan tidak menyala, dan lain sebagainya.
Kemudian kita dianjurkan untuk menciptakan suasana eksternal yang mendukung 'kefokusan' shalat, semisal menggunakan lampu yang temaram (tidak terlalu terang dan tidak sama sekali gelap), menggunakan sajadah yang berwarna putih saja, menggunakan baju putih, menggunakan wangi wangian, shalat di ruangan yang tidak terlalu besar untuk menjaga pandangan, dan lain sebagainya.
Setelah kedua hal tersebut dilakukan, barulah kita dianjurkan memulai latihan pembenahan terhadap hal hal yang sifatnya batiniah, -kedalam diri. Untuk itu, guru kami selalu menganjurkan agar beristirahat sejenak, -membuat jeda, antara wudhu dan shalat sekedar 2 – 5 menit. Ini dilakukan untuk mengistirahatkan fikiran dari berbagai persoalan keseharian yang memang harus kita jalani. Jeda ini juga berfungsi menghantar fikiran menuju suatu titik dimana tidak ada yang terfikir melainkan hanya bahwa sebentar lagi kita akan shalat, atau dalam bahasa tasawufnya SADAR SHALAT. Dengan modal sadar shalat ini, diharapkan tercipta suatu energi yang lebih memudahkan kita melaksanakan shalat yang focus. Barulah setelah itu, kita berlatih memfokuskan diri selama prosesi shalat.
Untuk mencapai titik focus dalam prosesi shalat ini, ada beberapa hal yang mesti disiapkan, antara lain :
1.Paham makna, yaitu mengetahui makna dari setiap bacaan yang kita lafalkan dalam shalat.
2.Paham maksud, yaitu mengetahui dan merasakan tujuan dari setiap rukun yang kita lakukan dalam shalat, tentang sesuatu dibalik apa yang tersurat.
3.Paham posisi, yaitu merasakan dengan sungguh sungguh melalui hati yang paling jernih dan cemerlang setiap rukun shalat dan makna batiniahnya dalam setiap laku lampah kehidupan. Posisi berdiri melambangkan apa, posisi ruku melambangkan apa, posisi sujud melambangkan apa, dan seterusnya.
4.Paham cara sempurna, yaitu bahwa shalat adalah proses menuju kesempurnaan hidup, atau dalam bahasa lain, shalat adalah cara untuk kembali HIDUP.
Pengajaran, pendidikan dan bimbingan menuju shalat yang sempurna seperti sebagian tersebut diatas ini tidak dapat dipraktekkan hanya dari membaca buku atau keterangan dari ustadz, melainkan harus melalui bimbingan yang terus menerus dari seorang GURU SEJATI, yang kasihnya melebihi kasih orangtua kandung.
Karena begitu rumitnya perjuangan menuju khusyu ini, dan karena saya sendiri merasa belum pernah mencapai tahap khusyu, maka terlalu kurang ajar kalau saya berani menjelaskan tentang bagaimana rasanya khusyu. Yang patut ditanyakan kedalam diri kita masing masing adalah apakah kita sudah berniat dan bersungguh sungguh mencari ilmu atau cara agar kita mencapai khusyu dalam shalat, sehingga setiap shalat kita adalah mi'raj, prosesi dialog antara Pencipta dengan yang diciptakan ?.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Masya Allah...terimakasih ms havidz, tulisannya menyadarkan kembali.