Selasa, 18 September 2007

DUNIA YANG KEJAM Oleh Hafizullah Ahyak

Kita selalu berhadapan dengan kejamnya dunia. Benar apa kata Aa bahwa hidup di dunia itu tidak mudah. Sekelompok orang bertampang pahlawan, menolong orang, memperjuangkan kepentingan publik, siapa tahu ada kepentingan besar pribadinya yang tersembunyi di balik relung relung hatinya yang terdalam, hanya Allah yang Maha Mengetahui pergerakan hati. Tidak usah jauh jauh berburuk sangka, tengoklah kedalam relung hatimu sendiri. Bicarakan baik baik dengannya, apakah perjuanganmu semata karena Allah atau karena mengharapkan besarnya pesangon pada saat akan keluar nanti. Tanyakan secara jujur dan jernih, renungkan lebih dalam dan ambil intisari tingkah polahmu selama ini.
Dunia itu kejam, begitu kata Akhi. Memang demikian adanya, karena kekejaman itu bersifat sistemik dan permisif. Hanya kekuatan Allah yang terpancar dari qolbu orang yang bersih yang mampu merobohkan semuanya. Orang diajari untuk tidak percaya kepada orang lain, karena sering kepercayaan yang ditanam dalam dalam hanya berakibat kerontangnya jiwa yang terkhianati. Orang diajari untuk mendahulukan kepentingan dan egonya diatas segalanya, bahkan diatas kepentingan Sang Pembuat dan Maha Ego. Orang diajari untuk menandingi Tuhan. Orang diajari untuk selalu bermuka dua. Selalu bermuka manis di depan seseorang dan menjadi memusuhi tatkala dibelakangnya, sebab jika tidak demikian maka kepentingan dan ego kita pasti tidak tersalurkan sempurna. Orang diajari untuk menyiapkan seribu strategi dalam rangka memenangkan hidup, bahwa seandainya strategi A tidak berhasil, masih ada strategi B sampai Z pangkat 3 yang memback-up. Orang diajari untuk melakukan sesuatu atas dasar adanya keuntungan dan perhitungan profit and loss. Teori ekonomi harus benar benar diterapkan untuk mencapai kesejahteraan hidup. Bahwa kita harus mengeluarkan modal sekecil kecilnya dengan orientasi hasil yang sebesar besarnya. Ajaran sempurna materialisme dan hedonisme yang secara perlahan namun pasti menggerogoti kitab kitab suci yang tersimpan rapi di lemari lemari lusuh musholla pinggiran desa yang tertinggal. Siapa yang salah ?, atau apa ?, atau bagaimana bisa ?, atau mengapa ?.
Tidak boleh menyalahkan siapa siapa atau apa, sebab semakin berkembang suatu peradaban akan semakin berkembang pula sistem informasi dan komunikasi yang menyebabkan berubahnya pola interaksi masyarakat. Tidak boleh menyalahkan teknologi, sebab teknologi hanyalah alat atau obyek, bukan subyek. Obyek tidak bisa bermanfaat apapun kalau tidak digerakkan oleh subyek. Teknologi adalah sunnatullah. Rotasi wajar perputaran hukum alam, sebab tidak mungkin manusia selalu menggunakan batu yang diruncingkan untuk memenuhi kebutuhan dasar hidup (berburu dengan alat yang paling konvensional hanya untuk memenuhi kebutuhan perut / pangan).
Adalah kewajaran apabila semakin banyak jumlah manusia di muka bumi, maka semakin banyak pula corak dan metode mencari pangan misalnya. Pun suatu kewajaran ketika daun daunan dan kulit binatang digantikan kain tenunan halus dari berbagai bahan baku benang dengan pintalan yang kuat untuk memenuhi kebutuhan sandang manusia, belum termasuk mode dan gaya yang selalu berubah ubah trend nya setiap tahun. Sebab semakin lama manusia tidak hanya membutuhkan fungsi, tetapi juga menyiapkan asesori dan modifikasi. Inilah kata kunci sunnatullah teknologi.
Ketika manusia membutuhkan komunikasi dengan sesamanya, cukup dengan berbicara saja atau menggunakan isyarat isyarat tertentu yang sudah disepakati atau menggunakan kode dan simbol tertentu yang dipahami bersama, itu terjadi ketika manusia masih bisa saling bertatap muka secara langsung. Namun ketika jarak memisahkan, perlu dipikirkan bagaimana agar komunikasi bisa tetap terjaga, akhirnya ditemukan teknologi telepon yang menggunakan media kabel. Tidak cukup dengan telepon berkabel, sebab manusia sering bepergian, maka ditemukan telepon selular. Namun kembali tidak cukup telepon selular, sebab manusia butuh melihat keadaan lawan komunikasi, maka ditambahkanlah kamera, video shooting dan seabrek features features lainnya dalam telepon selular. Itulah gambaran sunnatullah teknologi. Tidak salah dan tidak perlu disalahkan.
Masih ingat, ketika ustadz kita dulu pernah berwasiat bahwa Nabi pernah berkata ‘Suatu saat nanti akan datang masa dimana orang orang yang beriman harus bersabar dalam kesederhanaan untuk menjaga keimanannya’. Ya, bersabar dalam kesederhanaan, kebersahajaan, kepas-pasan. Sebab, jarang ada jabatan yang bisa diraih tanpa melakukan dosa dan kemunafikan. Sebab, jarang ada kekayaan yang bisa ditumpuk tanpa melakukan penipuan dan penggerogotan nafkah orang lain. Sebab, jarang ada kemulyaan yang bisa diraih tanpa melakukan kehinaan. Ya, semuanya sunnatullah dan hal ini sudah diperingatkan Nabi beratus ratus tahun yang lalu.
Lalu apakah salah seandainya kita bercita cita menjadi orang besar dengan pribadi besar yang bisa merubah orang dalam jumlah besar dengan kekuatan besar menuju kepada kebaikan bersama yang besar pula sifat dan daya jangkaunya. O, tentu tidak. Tapi perlu diingat bahwa besar dan kecil hanyalah ukuran, dan ukuran hanyalah satuan satuan tertentu yang abstrak dan relatif sifatnya, berbeda sudut pandang dan tergantung faktor pengukurnya. Ingat, pelajaran Cak Nun dulu tentang harga obat, begitulah sebuah ukuran. Seribu rupiah bagi kuli panggul di pasar pasar belum tentu sama nilainya dengan seribu rupiah yang dimiliki Direktur Utama perusahaan batubara. Jadi, alangkah lebih bijaknya apabila kita sebut saja bahwa cita cita kita tidak tergantung berapa banyak jumlah kekayaan yang bisa kita kumpulkan, berapa banyak orang yang bisa merasakan manfaat kekayaan itu, berapa banyak kebaikan kebaikan yang bisa kita perbuat dan satuan satuan matematis lainnya yang sering kita jadikan kitab suci dan dalil kesuksesan manusia. Mari, cita cita kita sandarkan kepada keridhoan Allah yang hanya bisa tercapai apabila kondisi hati kita ikhlas, benar benar ikhlas, bukan rekayasa atau mengada ada. Bagaimana itu ?, adalah keadaan ketika kita menjadi NOL dihadapan SATU, nafi itsbat. La ilaha illa Allah. Intisari kemajuan teknologi dan peradaban manusia. Digitalisasi iman yang diajarkan Allah melalui sistem bilangan biner, dasar ditemukannya komputerisasi.
Apa adab NOL dihadapan SATU ?, adalah ketika SATU dibagi NOL menjadi tak terhingga nilainya. Yaitu kepasrahan total. DUNIA LAIN.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

MasyaAllah... ya Allah jadikanlah penulis menjadi Manusia yang pasrah total kepada Mu, mudahkanlah lancarkanlah enakkanlah dan selamatkanlah ia menuju tujuannya... Amin