Ketika melihat betapa begitu gencarnya kesuksesan dikampanyekan untuk dimaknai dengan popularitas dan media face, kita seharusnya patut untuk prihatin. Sebab, dari relung hati yang terdalam, andaikata kita semua masih waras, kita harus bersepakat bahwa seandainya batasan kesuksesan hanyalah popularitas dan segala remeh temeh lain seputar itu, maka banyak dari kita termasuk golongan orang yang tidak sukses. Banyak pencapaian pencapaian spektakuler yang harus dicecerkan dan tercecerkan ke dalam tong tong sampah sejarah. Itu artinya banyak hal besar yang diperbuat manusia harus dianggap sebagai hal kecil.
Kita harus melihat, bahwa ketika anak kecil berkomentar terhadap orangtuanya, seperti ‘Ma, tolong belikan tas yang ada gambar AFI-nya’, atau ketika anak kita dan adik kecil kita bersikeras ke Jakarta untuk melihat Grand Final pemilihan acara bintang baru, ada nilai baru yang sebenarnya tertanam dan menghunjam kuat dalam ingatan dan memorinya, yaitu dia harus seperti yang di display kan di media kelak apabila tidak ingin tertinggal kereta kemajuan. Dan kita tidak pernah sadar bahwa hal itu bisa sangat berbahaya. Karena Tuhan tidak menciptakan semua manusia mempunyai suara merdu dan kemampuan mengolah gaya dan acting serta adalah hal yang lumrah ketika manusia dilahirkan dalam kondisi wajah yang tidak semuanya enak dilihat mata dan ekspresif mengiklankan produk produk mutakhir ‘kebutuhan modernisasi’ manusia.
Tapi, sekali lagi kita harus mengakui bahwa metodologi dakwah din kita selalu kalah dengan metodologi dan sistematika dakwah materialisme dan hedonisme. Ups, jangan mencari alasan dengan mengatakan din kita adalah sesuatu yang abstrak sementara hidup kita sehari hari didesak dengan banyak hal riil yang harus segera diselesaikan dalam rangka mempertahankan eksistensi dan kemanusiaan manusia. Jangan pula mengatakan bahwa materialisme menjadi satu satunya solusi atau paling tidak solusi paling relevan terhadap himpitan himpitan kebutuhan hidup.
Berulangkali kita harus bersepakat bahwa metodologi dakwah iblis wa alihi wa shohbihi selalu upgradeable, dinamis dan mutakhir dibandingkan dengan cara kerja malaikat yang konvensional dan statis. Iblis diciptakan dengan perjanjian utama untuk menggoda anak Adam agar menjadi pengikutnya sedangkan malaikat diciptakan dengan tugas tugas tertentu yang tidak akan pernah berubah sepanjang masa. Godaan harus disesuaikan dengan kondisi faktual dan riil, itu artinya dinamisasi, berproses memperbarui diri terus menerus tak pernah berhenti-sustainable-berkesinambungan. Dalam dunia iblis istilah quality control atau quality control circle atau sustainable development telah dikenal jauh jauh masa sebelum manusia mengenal teknologi. Ingatlah cerita Ibrahim yang hendak menyembelih Ismail karena perintah Tuhan. Pertama kali iblis menggoda dari diri Ibrahim terlebih dahulu, ketika tidak berhasil, iblis menggoda dari diri istri Ibrahim, pun ketika tidak berhasil, iblis menggoda dari diri Ismail. Lihatlah betapa canggih dan sistemiknya. Manusia dikepung dari segala penjuru, bahkan dari perbuatan perbuatan baik yang seharusnya menjadi nilai ibadah.
Tapi kita juga mesti ingat, bahwa Tuhan memberikan dispensasi kepada iblis untuk menggelincirkan manusia dari cinta-Nya dengan memberi modal utama kepada manusia berupa keimanan dan ketakwaan. Bahkan Tuhan menantang iblis untuk melakukan aksinya dengan berbagai cara dan Tuhan menggaransi bahwa manusia yang didalam hatinya penuh dengan keimanan dan ketakwaan tidak mungkin terpengaruh tipudaya iblis. Contohnya kasus Ibrahim dan Ismail seperti disebutkan dimuka.
Ya, ternyata sebenarnya kita dibekali senjata yang begitu ampuh oleh Tuhan untuk menghadapi kekuatan besar iblis, yaitu hati kita yang penuh oleh cinta-Nya. Ketika sekarang kita menengok kehidupan kita sehari hari dan menghadapi realitas betapa rapuhnya benteng hati kita terhadap tipudaya iblis, kita patut bertanya benarkah kita mencintai-Nya atau hanya pura pura mencintai-Nya ?. Benarkah kita menempatkan Ia sebagai imam dan bukan sebagai makmum ?. Benarkah setiap langkah kita dilandasi prinsip pengawasan melekat-Nya atau Ia kita tinggalkan dalam musholla kecil di rumah kita ketika kita sibuk beraktifitas ?. Benarkah kita mensholati hidup kita seakan akan kita melihat-Nya atau jika tidak kita pasti dilihat-Nya ?.
Pertanyaan pertanyaan besar seperti ini tidak pernah mengemuka menjadi wacana yang direnungkan bersama. Masing masing kita sibuk mencari jatidiri yang hilang, jatidiri yang disandarkan kepada kemulyaan dunia, bertumpuknya harta, harumnya nama baik, person image yang dijaga mati matian dan seabrek ukuran ukuran lain yang menjadi nilai baru yang baku dan pasti khasiatnya. Semata mata hal ini bisa terjadi karena seringkali kita lebih mementingkan kesalehan individual daripada kesalehan sosial.
Ingatlah, ketika Muhammad mewasiatkan bahwa sebaik baik umatnya adalah yang mampu memberikan manfaat kepada lingkungannya. Ini adalah pesan adiluhur agar sinergi dan semangat kolektifisme menjadi fondasi utama menghadapi tipudaya iblis.
Andaikata kita mampu mendayagunakan sistem multi level marketing dalam dakwah kita, tentu akan lebih ringan kondisi hari hari kita dibandingkan dengan hari hari terakhir ini. Bukankah Tuhan menjanjikan pahala sebesar nilai orang yang melakukan kebaikan kepada orang yang mengajarkannya, cermatilah bahwa Tuhan mengajarkan sistem jaringan jauh jauh hari sebelum multi level marketing ditemukan. Bukankah itu tanda tanda kebesaran-Nya dan betapa hebat modal yang Ia siapkan untuk kita ?. Ya, kita harus memulainya dari diri kita. Anggaplah kita downline dengan upline langsung Nabi Muhammad SAW, pemilik modalnya siapa lagi kalau bukan Allah Rabbul Jalil. Sebagai downline level satu mari kita berlomba lomba mendapatkan downline level dua sebanyak 5 orang saja dalam 4 atau 6 bulan. Andaikata hal sama dilakukan oleh dowline kita, dalam kurun waktu 1, 2, 3 dan bertahun tahun kemudian tentu akan banyak tercipta kader kader dakwah yang mumpuni dan tahan uji.
Yang terus harus diingat oleh kita adalah bahwa perintah Allah untuk menjaga sholat lima waktu diiringi dengan perintah untuk menjaga sholat wustha. Apa itu sholat wustha?. Yaitu sholat antara dua sholat. Aktifitas kita sehari hari dari selepas Shubuh sampai Dzuhur atau dari selepas Dzuhur sampai Ashar atau selepas Ashar sampai Maghrib atau selepas Maghrib sampai Isya atau selepas Isya sampai Shubuh adalah sholat wustha. Sholat aplikatif implementatif. Sesejati sejatinya sholat.
Andaikata kita rajin sholat lima waktu ditambah sholat sholat sunnah lain yang mengikuti sampai hitam jidat kita tetapi sholat aplikatif kita penuh dengan tipudaya, pengkhianatan, egoisme, kesombongan, kesewenangan dan seabrek sifat sifat syaithaniyyah lainnya, maka kita perlu curiga kepada diri kita jangan jangan ada Tuhan lain yang menggantikan Allah dalam hati, jangan jangan Tuhan kita adalah downline iblis.
Pernah suatu kali saya bertanya kepada rekan saya, siapa yang lebih diterima Tuhan, orang yang melakukan banyak kebaikan dan kebajikan untuk lingkungannya tetapi sholat lima waktunya bolong bolong atau orang yang mumpuni ilmu agamanya, tekun sholat lima waktunya, puasa dan riyadhoh budaya kesehariannya, tetapi ia sering melakukan kesewenangan dengan kekuasaannya, tipudaya dengan kecanggihan strategi dan keluasan wawasannya, kesombongan dengan ilmu dan kewibawaannya, pengkhianatan dengan kepercayaan yang dimiliki dan dititipkan orang kepadanya dan banyak sifat sifat iblisiyyah lainnya ?. Jawabannya mari kita serahkan kepada Allah SWT, sang Maha Perekayasa. Wallahu a’lam.
Selasa, 18 September 2007
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar