Oleh Havidz al Abrozzy
Hakikat pujian adalah semuanya milik Tuhan, sebab segala sesuatunya berasal dari Tuhan, baik faktor pemuji maupun yang dipuji. Pujian bisa dipilah menjadi empat, yaitu :
Pujian Tuhan kepada makhluk-Nya, seperti pujian Allah kepada Muhammad SAW ‘Dan sungguh engkau Muhamma benar benar memiliki akhlak yang agung’.
Pujian makhluk kepada Tuhannya, seperti ketika kita melihat langit yang cerah dengan dihiasi bintang kerlap kerlip dan bulan yang bersinar terang, lalu kita memuji ‘Duh Tuhan, betapa maha indahnya Engkau dengan ciptaanmu yang tiada banding ini’.
Pujian makhluk kepada sesamanya, seperti ketika kita bertemu dengan seseorang yang begitu ganteng atau cantik lalu kita berkata, ‘Wah, cantik benar dirimu’.
Pujian Tuhan kepada dirinya sendiri, dalam al Quran terdapat beberapa ayat yang menegaskan kehebatan Allah yang disampaikan oleh Allah SWT sendiri.
Pujian model pertama pada hakikatnya Tuhan memuji diri-Nya sendiri melalui ciptaan sempurna-Nya yang bernama Muhammad SAW. Melalui Muhammad SAW, Allah menunjukkan ketepatan pilihan-Nya atas manusia terpilih sebagai dasar penciptaan makhluk lainnya.
Pujian model kedua adalah pujian yang langsung menuju kepada-Nya, yang ditiupkannya ke hati orang orang yang beriman sebagai tanda cinta kasih-Nya yang tulus dan tanpa pamrih dalam rangka mempertebal keyakinan kecintaan hamba hamba-Nya yang juga ikhlas.
Pujian model ketiga adalah pujian yang memang secara tidak langsung dilontarkan kepada-Nya, karena melalui perantaraan ciptaan yang sempurna, sebab mustahil ciptaan yang sempurna dilahirkan oleh ‘tangan’ yang tidak sempurna, maka pujian model ketiga sebenarnya berbunyi, ‘Duh Tuhan betapa hebatnya Engkau yang telah menciptakan Si Fulan dengan cantik rupawan seperti ini’
Pujian model keempat adalah penegasan keperkasaan, kemahaan, kehebatan dan ketaktertandingi-Nya Allah oleh ciptaan-Nya. Pujian model ini ingin menunjukkan kepada ciptaan-Nya bahwa tidak ada yang patut dipuji melainkan hanya ditujukan kepada Dzat Yang Maha Terpuji.
Inilah intisari pujian sebagaimana dijelaskan dalam banyak literatur salaf yang menjadi rujukan pokok di sebagian besar pesantren. Setelah kita mengetahui intisari pujian, apa tindakan kita ?.
Pertama, dalam memuji orang lain atau siapapun hendaknya selalu dilandaskan kepada kekuasaan Allah semata, yaitu kita tidak memuji sesuatu melainkan karena dan hanya untuk Allah, meski pujian itu kita sematkan kepada ciptaan-Nya secara lahiriah.
Kedua, pujian yang diberikan orang lain kepada kita hendaknya kita kembalikan kepada Pemilik Sejatinya, sebab sejatinya kita ini makhluk lemah yang tidak punya daya dan upaya melainkan atas perkenan-Nya. Kesadaran pengembalian ini akan membuat jiwa kita tidak takabbur, sebab kita mengetahui dan merasakan dengan pasti ketidakmampuan kita dihadapan Dzat Yang Maha Mampu.
Ketiga, kita harus mampu mensejajarkan pujian dan celaan sebab keduanya hakikatnya adalah nikmat kontan-Nya yang diberikan kepada kita. Sebagaimana pujian yang tidak membuat takabbur, maka celaanpun harus tidak membuat kita rendah diri dan dendam.
Keempat, atas segala sesuatu yang terjadi dalam diri kita dan lingkungan kita, pujian kepada Allah harus terus menerus dipatri dalam hati sampai menjadi lukisan abadi. Caranya, sambungkanlah segala sesuatunya kepada-Nya, insya Allah akan ditemukan hikmah besar dari setiap peristiwa dan kejadian. Amin.
Selasa, 18 September 2007
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar