Selasa, 18 September 2007

GRATIS

GRATIS
Oleh Havidz al Abrozzy

Cobalah sekali kali kita berkunjung ke sebuah Rumah Sakit, Panti Jompo atau Rumah Rehabilitasi. Sungguh banyak hikmah yang bisa kita renungkan dari tempat tempat yang saya sebutkan diatas, terutama menyangkut betapa sebenarnya Tuhan telah memberi begitu banyak nikmat dan rezeki setiap harinya, bahkan terhadap hal hal yang kadang kita tidak sadari atau tidak mau kita sadari. Marilah kita berhitung tentang hal itu sejak kita bangun atau dibangunkan di pagi hari oleh mekanisme waktu yang di ciptakan Tuhan, maka andai kita masih memiliki akal sehat, nalar benar dan hati yang terbuka, tentulah akan kita akui bahwa seandainya Tuhan hendak mengkomersilkan seluruh jasa yang Ia berikan, kita takkan mampu membayarnya baik secara kredit apalagi secara tunai.
Tuhan menciptakan kita dengan banyak sekali modal dasar yang seluruhnya free alias gratis. Mulai dari waktu yang lebih banyak kita habiskan untuk kesia siaan, udara sebagai bahan utama mekanisme pembakaran di dalam tubuh kita sehingga kita mampu berkarya, segala sumber daya pribadi seperti kecerdasan, logika, daya konsep, daya pikir, emosi, kekuatan dan hati nurani sebagai polisi tatalaku, panca indera yang lahir dan batin sebagai alat untuk menerima, mengumpulkan dan mengolah informasi, dan jangan lupa sehat sebagai asset penting yang sering kita lupakan. Semuanya diserahkan oleh Tuhan kepada kita tanpa pamrih, cuma cuma dan tersedia dalam jumlah yang sangat luar biasa besar (kuantiti dan kualiti). Lalu apa yang telah kita lakukan untuk membalas jasa yang diberikan Tuhan kepada kita?.
Yang paling utama dan pertama sering kita lakukan adalah mengeluh, terutama karena beberapa kekurangan yang menurut kita menjadi titik lemah pribadi sehingga kita kurang percaya diri dalam berinteraksi dengan sesama manusia. Kita mungkin akan bersepakat dalam satu hal sebelum membahas kekurangan pribadi masing masing bahwa timbulnya kekurangan dan atau kelebihan pribadi adalah karena kita lebih sering memperbandingkan satu sama lain sesama kita, andai kita tidak saling memperbandingkan, tentu tidak akan timbul hal yang kita sebut sebagai kekurangan dan atau kelebihan. Dengan demikian seharusnya kita juga bersepakat bahwa sebenarnya kekurangan dan atau kelebihan yang melekat pada pribadi kita masing masing adalah hanya persepsi daya nalar kita atas informasi yang ditangkap dan dikelola oleh panca indera lahir kita yang cenderung polos dan tidak terliputi nalar batin, artinya informasi yang terkelola itu bisa benar dan juga bisa salah. Andai proses pembandingan itu kita terapkan dalam hal kebajikan yang telah dilakukan, tentu itu akan menjadi daya dorong peningkatan kualitas pribadi, namun di akui atau tidak kita lebih sering menerapkan proses pembandingan terhadap materi yang masing masing kita miliki secara membabi buta dan penuh nafsu, apalagi apabila materi yang kita perbandingkan itu menyangkut bukan hanya tingkat kemapanan hidup melainkan juga menyangkut proses identifikasi pribadi (prestige atau gengsi, gaya hidup, kualitas hidup), maka sungguh salah kaprahlah kita memaknai hidup yang sebenarnya ‘begini begini saja ini’ –meminjam istilah Aa Gym. Saya berpendapat beberapa penyakit hati yang sifatnya lebih ganas dari kanker muncul karena hal ‘sepele’ ini.
Yang kedua dan tak kalah sering kita lakukan adalah menyalahkan pihak di luar diri kita. Pihak itu mungkin lingkungan di mana kita dibesarkan, tinggal dan berkembang, mungkin orangtua yang telah begitu banyak berjasa dalam membina dan mendidik kita sehingga kita menjadi yang sekarang ini, mungkin juga guru, sekolah, tempat kerja, atasan dan bahkan Tuhan-naudzu billah. Kita menyalahkan mereka karena akibat campurtangan mereka lah kita menjadi yang ‘hanya’ sekarang ini. Kita lupa bahwa proses pembentukan diri kita adalah interaksi internal modal dasar fitrah insani kita dengan banyak hal eksternal yang sifatnya hanya merangsang. Sesungguhnya apabila kita lebih cerdas dalam menjalani hidup, kita tidak akan membiarkan fitrah insani kita tercemar oleh virus virus hidup yang disebarkan oleh lingkungan kita begitu saja, apalagi oleh gejala konsumerisme yang mengepung kita sehari hari dari segala penjuru. Kita seharusnya mampu menularkembangkan fitrah insani yang dimiliki oleh semua manusia, bahkan penjahat sekalipun, kepada seluruh alam, bukan hanya manusia melainkan juga binatang dan tetumbuhan serta seluruh jagad raya. Bukankah kita di create untuk menjadi wakil Tuhan, pemimpin alam dan pengelola alam, suatu kedudukan yang bahkan gunung dan malaikat saja tidak mampu mengembannya.
Yang ketiga dan juga sering kita lakukan adalah berputus asa. Kita sering menyerah terhadap dinamika dan romantisme hidup yang naik turun. Kita sering lupa bahwa naik turun, enak anyir, suka duka, senang sedih, sehat sakit adalah hukum alam yang memang berjalan bergantian dan beriringan. Adanya dan pastinya adalah hal mutlak yang mesti menimpa setiap kita, manusia hidup yang memiliki nafas. Bukankah lebih penting dan lebih enjoy apabila kita menata akhlak kita menjadi lebih reliable, handal dan tangguh dalam menghadapi setiap romantika hidup daripada kita memilih berputus asa dan menyerah.
Banyak hal lain yang sering kita lakukan dalam kehidupan ini, yang seluruh fasilitasnya diberikan oleh Tuhan secara gratis, yang mencerminkan betapa kita adalah makhluk makhluk yang tidak pernah bisa berterimakasih.
Sedikit contoh yang bisa kita renungkan adalah sikap kita terhadap gaji yang kita terima setiap bulan. Pernah ingatkah kita sewaktu gaji kita berjumlah tigaratusan ribu rupiah dulu. Mari kita bandingkan dengan gaji kita yang sekarang rata rata satu jutaan rupiah. Apakah ada perbedaan gaya hidup, penambahan asset (konsumtif atau produktif) dan peningkatan pola pemenuhan kebutuhan pokok. Secara garis besar, andai kita mau jujur terhadap diri kita sendiri, semuanya biasa biasa saja, tak ada perbedaan mencolok dari perubahan jumlah gaji yang kita terima. Kita mungkin berkilah bahwa peningkatan jumlah gaji diiringi peningkatan kebutuhan hidup (inflasi, KHM, KFM, KHL). Kita lupa bahwa peningkatan kebutuhan hidup adalah ulah kita, aplikasi daya nalar kita yang telah terinfeksi virus virus hati, tuntutan nafsu kita yang selalu haus dan dorongan pemenuhan kebutuhan tambahan yang sifatnya lebih sering lahiri. Terhadap gaji yang kita terima setiap bulannya, mari kita akui bahwa kita lebih sering merasa kurang daripada merasa lebih, sehingga berat bagi kita menyisihkan sedikit bagian ketika Yayasan Pengasuh Yatim Piatu meminta sedikit haknya. Saat itu kita tidak sadar bahwa secara logika, gaji yang kita terima bukanlah milik kita, karena modal dasarnya diberikan oleh Tuhan secara cuma cuma. Jadi mulai kapan kita akan merubah pola hidup kita sehingga menjadi lebih barakah ?. Bagi saya barakah mempunyai dua arti, yaitu pertama, mampu memberikan nilai tambah bagi peningkatan kualitas pribadi diri kita dan keluarga kita, dan kedua, mampu memberikan manfaat bagi pihak di luar diri dan keluarga kita (bagi alam, lingkungan, tetangga, dan lain mustahik). Haruskah kita merelakan diri kita menjadi sebagian orang yang masuk golongan susah di dunia dan juga susah di akhirat ?.

Tidak ada komentar: