Selasa, 18 September 2007

PERJALANAN SEEKOR LALAT Oleh Fitri Adi

Saudaraku yang berbahagia,
Nun jauh di sebuah tempat, di tempat yang kumuh, kotor dan menjijikkan bagi manusia hiduplah sekumpulan lalat, lestari berkembang biak, beranak pinak turun temurun generasi pergenerasi. Tumpukan kotoran adalah sorga bagi mereka, bau busuk serasa harum wewangian sorga menyengat hidung membangkitkan gairah dan selera. Butir perbutirnya adalah makanan terlezat yang ada dalam kehidupan mereka. Fa subkhanallah yang menjadikan mereka berbahagia riuh ramai berpesta pora dengan tumpukan-tumpukan itu.
Walaupun mereka dan kehidupan mereka dijadikan symbol “dlo’ufath tholibu wal mathlub” toh mereka hanya menjalankan fitroh, mereka tetap makhluq yang mulia. Bahkan poin kemuliaan mereka lebih dari pada manusia, yang terkenal sebagai makhluk yang paling sempurna dengan hati dan akalnya, mereka tidak pernah saling bunuh, saling sikat, saling sikut sesama hanya untuk memperebutkan sebuah kotoran, hanya untuk menguasai seberapa tumpukan kotoran. Padahal jika disadari toh keduanya sama-sama suka, rindu dan berhasarat pada “kotoran”.
Suatu ketika lahirlah seekor lalat dalam kerajaan kotoran, begitu lahir tubuhnya langsung tersentuh benda-benda kotor, keluarganya langsung memperkenalkan padanya berbagai aroma dan rasa kotoran babi, kotoran kuda, kotoran manusia, dll. Ia langsung dihiasi dan disandangi dengan perhiasan dan pakaian kotoran dan dibangga-banggakan sebagai salah satu penerus keturunan salah satu marga lalat. Waktu terus berjalan dan tak terasa ia tumbuh dewasa. Tanpa terasa ia pun begitu akrab dan menikmatinya selayaknya masyarakat lalat yang lainya. Menari bernyanyi bersama dalam sorga kebersamaan dan kedamaian dalam kerajaan lalat, sungguh indah tanpa pertumpahan darah dan tanpa perebutan kursi kekuasaan.
Sampai suatu waktu, ketika bangun dari tidurnya ia bertanya pada dirinya, wahai lihatlah bukankah dunia itu begitu luas, begitu banyak yang tidak kau lihat, pahami dan mengerti dengan tubuh kecil mungilmu ini, tidakkah kau ingin melihat keindahan nyata dan keagungan benda-benda disekitarmu. Lalu apakah engkau ada hanya untuk melahap sebanyak-banyaknya tai ayam atau untuk menumpuk sebanyak banyaknya tai babi atau untuk berpesta dan berdansa diatas bangkai busuk atau untuk membangun kerajaan sampah yang pasti akan rata dengan tanah. Lama ia termenung, bertanya terus bertanya kepada kawan, tapi tak ia temukan jawaban hingga tak berselera makan, lalu ia memutuskan untuk melakukan perjalanan meninggalkan kampung halaman, pergi jauh membawa segenap harapan.
Sungguh perjalanan yang amat melelahkan, aral demi aral melintang, belahan demi belahan bumi terlewatkan, cobaan demi cobaan menghadang, jatuh bangun tapi tak putus asa, kadang ia menangis sesenggukan, waktu terus berjalan tapi tujuan belum kunjung datang. Hatinya terus merintih memohon belas kasihan, ia tahu bahwa tubuh mungilnya amatlah lemah untuk melakukan perjalanan itu, perjalanan agung kepada yang Agung, padahal tubuhnya hanya serupa dengan setitik debu. Subkhanallah.
Sayup-sayup ia mendengar musik indah yang berbunyi “Walladzina jahaduu fina lanahdiyannahum subulana..”. Musik itu begitu menggores hatinya walaupun dalam bahasa lalat ia tak mengetahui artinya. Ia terus berusaha mengikuti musik itu karena merdunya, akhirnya dalam waktu yang lama sang lalat tiba didekat pemain musik tersebut, di daerah yang bernama thusi. Di sebuah rumah ia melihat seorang manusia tua anak dari pemintal benang yang sedang menulis sebuah kitab yang berwarna keemasan, kitab itu sungguh indah dan sangat menakjubkan, memukau dan menyilaukan matanya, darahnya berdesir takjub merasakan sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya, melihat keindahan yang belum pernah ia lihat sebelumnya, membuat penderitaannya selama ini terasa hilang. Di sebelah penulis itu ia melihat benda cair yang sangat menggiurkannya, sangking tidak kuat menahan rasa haus dan laparnya selama ini, ia mendekati dan meminum tinta itu. Dan ia mabok, ia berektase, ia tak sadar serasa melayang-layang keawang-awang, melihat keindahan ma ainun ra at wa ma udzunun sami’at yang selama ini ia cari. Fasubkhanallah birakhmatih. Mungkin sang lalat tidak tahu kalau karena peristiwa itu ia telah mengangkat derajat sang penulis kitab. Sang lalat begitu bahagia menari dan bernyanyi bersenandung “Qola ya laita qoumy ya’lamuun bima ghofaroly robby waja’alany minal mukromiin”.
Kehidupan baru sang lalat telah dimulai, kebahagiaan abadi ketenangan jiwa, sorga sejati keindahan nyata menjelma dihari-harinya, untuk beberapa waktu ia menikmatinya.
Tapi masih ada yang membuat ia curiga siapakah misteri dibalik misteri, siapakah musabbibul asbab, siapakah dibalik siapa …
Untuk mengetahui yang sejati ia pergi ke penyair tua yang kondang namanya dengan kitabnya matsnawi. Disana ia diperkenalkan dengan Agama cinta, dengan Makna cinta, dengan Hakikat cinta, dengan Pemilik cinta, dengan Pembuat cinta.
Kali ini sang lalat tak selamat, ia terkena penyakit cinta, ia minum ektase cinta, ia berputar-putar, whirling triping dengan cinta, sambil bersenandung hu..hu…hu…huuu..hu…huu…
Terus berputar kencang yang telinga manusia mendengar lalat bunyinya nguung..nguung.. Fasubkhanallah bini’matih. Ihdinash shirathol mustaqim shirotolladzina an’amta ‘alaihim. Dengan cinta ia kembali melanjutkan perjalanannya menemui Syeikhul Akbar, semakin terang dan jelaslah kebahagiaan yang dijanjikan oleh Pemilik cinta, yang selama ini dibawa oleh al mubasyiruun.
Cinta berkata ..mari kemari.. datanglah padaku
Masuklah kedalam kerajaanku……sang lalat datang menghampiri
mengetuk pintu tok.. tok..
dari dalam rumah berkata itu siapa?
Ini aku.. jawab sang lalat
Dari dalam menjawab oo.. maaf tidak ada aku disini
Dan pintu itu tertutup
Sang lalat sedih dan pergi merantau selama setahun, merenung dan mengkhisab diri
Akhirnya sang lalat kembali ke kerajaan cinta
Tok.. tok.. tok.. ketuknya
Dari dalam terdengar suara.. itu siapa?
Ini engkau… ini…hu…
Dan pintu itu terbuka…
Allahu akbar la ilaha illa Hu…….
Apakah cerita ini berakhir…
Sebelum tubuh membumi, sebelum roh kembali sang lalat harus terus berjuang selalu, bersyahadah atas segala apa yang ia lihat, yang ia temui, yang ia rasakan adalah Hu…Tidak ada ha.. dan tidak ada hi…Subkhanallah birokhmatih biqudratih wairodatih, innadhukha addukhauka wal irodata irodatuka wal qudrota qudrotuka.
Wallahu a’lamu bimurodih
Allahumma ighfirlana fainnahu la yaghfirul khoto wadzunub illallah

Tidak ada komentar: