Oleh Havidz al Abrozzy
Manusia normal pasti memiliki cita cita. Cita cita adalah pencapaian, orientasi tujuan, visi atau dalam bahasa Toto Tasmara ‘alamat-prinsip-makrifat’. Cita cita dijadikan sandaran kegiatan dan aktifitas, kemana akan melangkah dan bagaimana cara melangkahnya. Normalitas manusia merengkuh cita citanya adalah bukti bahwa hidup bukan hanya sekedar aktifitas rutin yang tidak mempunyai makna. Andai hidup adalah aktifitas rutin yang tidak mempunyai makna, tentu akan timbul kejenuhan mendalam yang berujung pada stres dan bunuh diri-atau yang semacamnya. Bayangkan, anda melakukan pekerjaan anda hanya untuk memenuhi kebutuhan pangan perut-makan dan minum, pakaian dan sarana tinggal, lalu setelah beberapa diantaranya tercapai, apa yang akan anda rasakan ?. Apakah pekerjaan yang anda geluti hanya untuk memenuhi kebutuhan pangan saja ?. Saya yakin sebagai manusia normal, anda akan menjawab dengan tegas tidak atau bukan hanya untuk itu. Dan itu sungguh sangat normal.
Pentingnya cita cita
Sebab manusia mempunyai cita cita maka ia memiliki tujuan dan arah. Maka perlu disediakan sarana untuk pencapaian cita cita manusia. Pendidikan misalnya. Fungsi utama pendidikan yang mengajarkan peradaban dan budaya adalah dalam kerangka besar pencapaian cita cita manusia. Sebagai makhluk dinamis aktif, manusia selalu berusaha bertumbuh dan bertumbuh, berubah dari waktu ke waktu, berusaha meningkatkan pencapaian pencapaiannya, tentu dalam rangka memenuhi kebutuhan dasar sebagaimana disebutkan dimuka. Sebagai fitrah yang tidak terelakkan, cita cita harus didayagunakan seoptimal mungkin dalam rangka proses menuju penghambaan kepada Tuhan. Mengapa demikian ?.
Proses memaknai cita cita
Ketika kecil dulu dan kita ditanya oleh orangtua kita ingin jadi apa kelak ketika dewasa, kita selalu menjawabnya dengan berbagai profesi yang menurut budaya kita termasuk profesi yang membanggakan baik secara mental moral maupun material semisal dokter, pengusaha, presiden, menteri, jenderal, rektor atau kyai. Profesi dokter disamping membanggakan secara mental dan moral juga membanggakan secara material. Secara mental moral, dokter adalah penolong orang orang yang tertimpa musibah, penawar solusi dari salah satu keruwetan hidup yang terus berlanjut dan bermodifikasi. Secara material, profesi dokter adalah profesi yang menjanjikan, sebab selama makhluk yang bernama manusia masih ada maka makhluk yang bernama penyakitpun akan bertumbuhkembang bahkan kenyataan menunjukkan semakin canggih teknologi semakin canggih pula model penyakitnya, lihatlah anthrax, AIDS, PKM, flu burung, kanker darah dan yang semacamnya. Artinya secara ekonomis berdasarkan hukum permintaan dan penawaran, profesi dokter adalah profesi pemegang kekuatan dalam proses tawar menawar pasar. Apalagi sejumlah sinetron kita menayangkan kemewahan profesi ini dengan tipikal yang ‘wah’.
Profesi presiden, menteri dan jenderal tentu profesi yang membanggakan dari aspek manapun, sebab profesi profesi ini hanya bisa dicapai oleh orang orang dengan kualifikasi tertentu yang memerlukan banyak prasarat, tentunya prasarat prasarat itu tidak mudah dicapai dan digapai apalagi di era yang mengagungkan demokrasi berdasarkan kuantitas seperti sekarang.
Profesi kyai membanggakan terutama dari sisi mental dan moral, sebab sebagai pewaris Nabi, kyai memiliki peran penting dalam mengawal akhlak masyarakat, menjaga dan memeliharanya agar sesuai dengan ajaran dan tuntunan Nabi, memang berat dan terkadang tidak menghasilkan sesuatu yang sepadan secara materi, tetapi profesi ini tetap membanggakan karena berkaitan dengan aspek emosional atau panggilan nurani.
Profesi pengusaha lebih membanggakan dari sisi materi. Orang kaya raya yang dapat membeli segala kebutuhan dan keinginannya adalah idaman banyak orang. Kekayaan menjadi salah satu atau bahkan satu satunya hal penting yang diincar sebagian besar manusia dalam menjalani kehidupannya. Bayangkan, anda dapat pergi kemanapun dengan membawa apapun atau siapapun dengan mudahnya, dilimpahi segala fasilitas kehidupan dan bergelimang serba kelebihan, sungguh profesi yang begitu menggiurkan. Zaman yang menawarkan segala kemudahan dan kemanjaan ini hanya bisa dinikmati oleh profesi ini.
Tipikal tipikal profesi yang sering kita sebut di masa kanak kanak kita seperti diatas tentu tidak menyalahi kodrat. Apalagi di masa kanak kanak, imajinasi kita masih sangat liar dan merdeka. Pada waktu itu, kita melihat potret kita saat dewasa melalui orang orang di sekitar kita. Dan lingkungan menyediakan tipikal yang memang memenangkan kemewahan dan kunggulan. Profesi seperti tukang gali sumur, buruh pabrik, tukang pukul batu, pengeduk pasir, petani, pembuat tahu, penjual gorengan, kuli bangunan dan beragam profesi ‘nonformal’ lainnya secara otomatis dan pasti terpinggirkan dari hiruk pikuknya kemegahan globalisasi. Padahal tidak ada yang salah dari profesi profesi yang terakhir itu. Toh, secanggih canggihnya sistem konstruksi bangunan, Menara Kembar di Malaysia misalnya, tetap membutuhan bata merah, batu, pasir dan semen sebagai bahan utamanya. Toh, secanggih canggihnya Mc Donald mengemas produk berbagai fast food, manusia tetap membutuhkan nasi sebagai salah satu bahan utama makanan pokoknya. Lalu, mengapa profesi ini terpinggirkan ?.
Bahkan, setelah dewasa dan memiliki tanggungjawab besar sebagai kepala keluarga pun, kita masih sering bercita cita untuk menjadi sesuatu yang lain, yang sangat berbeda dari profesi keseharian kita saat ini, contohnya adalah seorang kuli bangunan yang masih memimpikan menjadi insinyur teknik sipil yang mengepalai proyek triliunan rupiah sementara secara faktual, kepala sudah beruban dan umur mulai menginjak usia tidak produktif (40 tahun atau lebih), atau kalau tidak, kita masih menganggap –secara sadar atau tidak- profesi sebagai insinyur teknik sipil lebih mulya dibanding profesi kuli bangunan, akibatnya muncul rasa rendah diri (inferiority) yang mendalam yang menyebabkan kita bermental budak, sendiko dawuh terhadap kekejaman sistemik globalisasi. Sekali lagi, tidak salah apabila alam bawah sadar kita memiliki keyakinan beberapa profesi lebih mulya dibanding beberapa profesi lainnya, yang terpenting adalah bagaimana kita bisa memaknai cita cita kita dan menjalankannya sesuai kodrat. Andai cita cita melulu disandarkan kepada keunggulan keunggulan dan kemewahan –apapun bentuk dan modelnya- maka akan banyak sekali manusia yang gagal menjalani hidup ditinjau dari pencapaian cita citanya.
Era informasi seperti sekarang memiliki hukum tersendiri tentang makna pencapaian cita cita. Kesuksesan diukur dari sisi kuantitatif, materialisme dan kepemilikan. Sebanyak apakah engkau memiliki sesuatu, itulah ukuran kesuksesanmu, indikator pencapaian cita citamu. Ingat, definisi Kiyokasi tentang kekayaan. ‘Kekayaan adalah sejumlah uang atau materi yang dengannya engkau dapat memenuhi seluruh kebutuhanmu tanpa engkau melakukan pekerjaan’. Pendefinisian semacam ini mendorong manusia untuk menumpuk dan memiliki, sebab semakin banyak menumpuk dan memiliki, maka semakin kaya. Dan era informasi menyediakan berbagai sarana dan sistem yang berkiblat ke arah sana. Akibatnya ya itu tadi, beberapa profesi menjadi superior sementara profesi lainnya menjadi inferior. Kiyosaki selalu menggambarkan dengan perbandingan 90:10 yaitu 10% manusia menjadi superior yang wajib dilayani dan disembah sembah atau bahkan kalau perlu dijadikan Tuhan yang selalu benar dan 90% manusia menjadi inferior yang harus melayani dan menyembah apabila ingin tetap terjaga eksistensinya sebagai manusia, dengan kata lain 90% manusia perlu menjadi budak kapitalisme untuk memenuhi segala kebutuhan hidupnya. Maka tuhan tuhan baru bermunculan seperti Bill Gates, George W Bush atau Ariel Sharon, juga PBB, NATO dan Amerika Serikat. Dan itulah fenomena faktual kita akhir akhir ini.
Kodrat manusia
Tuhan menciptakan manusia dalam kerangka besar menjadi pengganti-Nya dalam mengatur dan mengelola bumi jagat raya dan segala isinya. Tugas sebagai pengganti ini sungguh maha berat dan sekaligus hebat yang tidak semua makhluk dapat memikulnya. Ingat, pak ustadz dulu pernah menceritakan proses delegasi keterwakilan ini sebagaimana disebutkan dalam al Quran bahwa mula mula tugas ini diberikan kepada makhluk lain selain manusia dan hanya manusia yang sanggup menjalankannya. Ingat pula, saat Tuhan hendak menciptakan Adam. Malaikat sebagai makhluk kinasih-Nya menyatakan protes dengan membeberkan segala resiko dan konsekuensi penciptaan itu, lalu Tuhan menjawab bahwa Ia lebih tahu dibanding makhluk-Nya. Lalu, ingatlah pula ketika Tuhan menyuruh malaikat dan penghuni sorga lainnya untuk sujud kepada Adam sebagai bukti keunggulan dan kehormatan yang dimilikinya.
Apa artinya itu semua ?. Garis merah yang bisa kita baca adalah bahwa Tuhan menciptakan dunia dan segala isinya untuk didayagunakan bagi kepentingan manusia. Maka manusia dibekali tidak hanya dengan kekuatan kekuatan malaikat saja, tetapi juga kekuatan kekuatan ketuhanan. Ia ciptakan manusia dengan segala potensi dan keunggulan. Ia bocorkan sebagian ilmu-Nya yang luar biasa kepada manusia sementara kepada malaikat saja tidak. Semuanya dalam kerangka pengaturan dan pengelolaan dunia seisinya.
Frame kekhalifahan inilah yang menyebabkan manusia memiliki budaya dan peradaban. Sebagai makhluk aktif dinamis, manusia berusaha meningkatkan pencapaian pencapaiannya melalui penggalian dan penambahan ilmu pengetahuan. Pencapaian pencapaian itu terimplementasikan melalui media teknologi yang semakin maju dan berkembang dari waktu ke waktu.
Lalu, muncullah berbagai bagai profesi dan predikat. Apabila semula Adam memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri bersama Hawa istrinya, maka timbullah spesialisasi spesialisasi. Sebab manusia tidak mungkin terus menerus mencari kulit binatang untuk dijadikan bahan pakaian, memakan dagingnya untuk menutupi rasa lapar dan menggunakan tulangnya untuk berburu. Manusia butuh pakaian yang lebih fashionable, good look dan tentu saja modis. Manusia juga butuh tidak hanya sekedar nasi atau daging sebagai penghilang rasa lapar, melainkan juga racikan bumbu bumbu tertentu dan sistem penanakan yang terjaga prosedurnya serta cara pengemasan yang apik, lalu muncullah Mc Donald, Teppanyaki, Es Teler dan merk merk branded lainnya. Manusia juga butuh komunikasi sebagai sarana penunjang aktifitasnya, maka muncullah telepon selular dengan segudang features yang sebenarnya tidak perlu namun kemudian menjadi perlu karena ajaran perubahan dan kemajuan teknologi. Manusia juga butuh alat transportasi dalam rangka menunjang mobilitasnya, apalagi untuk memenuhi kebutuhan proyek proyek besar yang harus tepat waktu, alat transportasi harus didesain seefektif dan seefisien mungkin, maka terciptalah kapal terbang, taksi udara, subway, busway dan yang semodel.
Berbagai kebutuhan manusia yang semakin kompleks dan beragam itu secara otomatis menciptakan spesialisasi spesialisasi profesi yang disandang manusia. Spesialisasi spesialisasi itu tentunya dalam kerangka menyempurnakan pemenuhan kebutuhan manusia yang sering bertambah komplek dan rumit. Namun demikian, setiap profesi pada hakikatnya saling membutuhkan satu sama lain. Profesi yang satu menjadi komplementer bagi profesi lainnya, keahlian A dibutuhkan agar keahlian B dapat bekerja sempurna. Apa contoh faktualnya ?. Seorang presiden tetap membutuhkan tukang gali sumur untuk menyediakan keperluan mandinya di istana. Seorang insinyur tetap membutuhkan tukang pukul batu, tukang gali pasir dan pembuat bata merah untuk menyediakan segala keperluan proyek konstruksinya. Seorang menteri tetap butuh petani untuk menyediakan nasi di meja makannya. Seorang dokter tetap membutuhkan tukang pijat tunanetra untuk menghilangkan penat tubuhnya yang menekan. Jadi semua profesi adalah sunnatullah yang saling mengisi satu sama lain, saling membutuhkan satu sama lain dan tentu saja sejajar satu sama lain. Lalu kenapa di sekitar kita tercipta superior dan inferior ?.
Sandaran cita cita
Semata mata karena kita salah memaknai cita cita, kita jadi salah pula memaknai profesi kita hari hari ini. Anda yang kuli bangunan, buruh pabrik, tukang gali sumur atau tukang pukul batu adalah cinta kasih Tuhan yang nampak jelas dan penting dalam proses harmonisasi kehidupan. Maka, kita harus menanamkan kepada anak anak kita, istri dan saudara kita, orangtua kita dan sesama kita sendiri bahwa menjadi apapun- setinggi apapun cita cita, tetap harus kita sandarkan kepada kodrat penciptaan kita, yaitu sebagai pengganti-Nya dalam mengelola dan mengatur dunia seisinya diiringi dengan semangat penghambaan hanya kepada Dzat yang memiliki wewenang untuk mewakilkan yaitu Tuhan. Andai kita ditunjuk Tuhan untuk mewakili-Nya sebagai tukang gali sumur, itulah profesi kita yang paling indah dan sempurna yang Ia anugerahkan kepada kita. Proses pemaknaan cita cita dengan sandaran yang transendental sifatnya seperti ini akan membuat kita tahu aturan. Sebagai wakil, sungguh kedudukan kita tidak lebih mulya dari yang diwakili, maka seharusnya kita mendudukposisikan semua wakil-Nya dalam posisi yang setaraf sederajat –tidak lebih tinggi atau rendah satu sama lain. Kesadaran kesetaraan kesederajatan ini akan menjaga kita dari sifat sombong apabila Ia menitipkan sebagian keunggulannya pada kita dan sifat hina apabia Ia menitipkan kemahaperkasaan-Nya dalam menyelesaikan beban beban berat dan sulit kehidupan. Bukankan sungguh nikmat apabila kita saling menghargai dan menghormati dengan prinsip engkau dan aku sama saja. Yang paling utama dari semuanya adalah mari kita bersama sama mengingat bahwa kedudukan kita, prestasi kita, kehebatan kita dalam menjalankan tugas perwakilan itu hanya diukur dari kadar takwa kita kepada Dzat yang memilih kita untuk mewakili-Nya. Ia tidak melihat rupa dan asesoris kita, seberapa banyak yang kita kumpulkan dan miliki atau pencapaian pencapaian materi lainnya, Ia hanya melihat kebersihan dan kesucian hati kita dalam melaksanakan amanah-Nya, Ia hanya melihat sejauh mana kita mampu memberikan manfaat kepada wakil wakil-Nya yang lain di dunia agar proses harmonisasi itu tetap terjaga dan lancar. Ia tidak melihat nampak luar kita tetapi justru melihat fondasi utama penggerak tingkah polah kita di kedalaman hati. Ia mengukur keikhlasan dan tawakkal kita terhadap berbagai ketentuan-Nya. Ia menilai sejauh mana kedewasaan menyikapi hidup kita miliki dan kembangkan dalam menghadapi kompleknya problema dan dilematika. Ia mengukur keaslian bukan topeng. Ia mengukur dasar yang hanya kita yang tahu persis kondisi kesehariannya. Mampukah kita merubah sandaran cita cita kita ?. Mampukah kita menjadikan la ilaha illa allah sebagai bahan utama racikan resep hidup ?. Semoga.